BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
BAB
I
PENDAHULUAN
Tasawuf yang sering kita temui dalam
khazanah dunia Islam, dan segi sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro
dan kontra, baik dikalangan muslim maupun nonmuslim. Mereka yang kontra
menganggap bahwa tsawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari
agama-agama lain, paham ini kebanyakan oleh para orientalis dan yang
orang-orang yang berpengaruh di kalangan orientalis ini. Dimana mereka
menulisnya pada sumber-sumber asing, disamping Al-Qur’an dan kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
mereka mengatakan bahwa tasawuf Islam tumbuh karena terpengaruh oleh ajaran
luar Islam.
Mengingat luasnya pembahasan tentang tasawuf
ini maka pemakalah hanya membahas tentang; asal usul tasawuf, makna tasawuf dan
perkembangannya sebagaimana yang dibebankan kepada kami.
Sementara itu, banyak para pakar tasawuf
menyatakan bahwa tasawuf bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam dan aplikasinya pada kehidupan rasulullah dan para
sahabat, namun pemakalah lebih mengambil apa yang telah digoreskan oleh
pena-pena para ulama sunnah bahwa tasawuf, meskipun tokoh-tokohnya kembali
kepada Al-qur’an dan Sunnah, namun terjadi kontaminasi dengan beberapa agama
lain. Untuk lebih lengkapnya pemakalah akan memaparkan pada makalah ini.
BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN ILMU
TASAWUF
Sebelum melangkah kepada sejarah
pembentukan tasawwuf menjadi sebuah ilmu, terlebih dahulu dalam makalah ini
diuraikan sedikit pembahasan asal-usul kata shufi dan tasawwuf.
A. Asal-Usul Kata Shufi dan Tasawuf
Para
ulama berselisih pendapat tentang permulaan muncul kata sufi dan tasawwuf dan
penggunaanya. Kata sufi dan tasawwuf tidak di kenal diabad pertama hijriah,
meskipun sebagian tokoh-tokoh sufi menyatakan bahwa benih-benih sufi banyak
ditemui dikehidupan Rasulullah saw beserta para sahabat beliau radiallahu
‘anhum.
Pada kehidupan Rasullullah terdapat
petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah seorang sufi, yaitu dengan
‘uzlahnya beliu ke ghar al hira’, hidup dengan cara zuhud dan meninggalkan pola
hidup kebendaan (material).[1]
Kemudian pola hidup seperti ini diikuti
oleh orang belakang hari, sehingga istilah tasawwuf dan sufi menjadi terkenal
diawal abad 2 H, dan ada yang menyatakan bahwa istilah ini muncul dari Al Hasan
Al Bashri. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa bahwa,
“Adapun kata Sufi tidak dikenal di tiga masa yang utama (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu. Hal ini banyak dinukil
oleh para A’immah seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Sulaiman Ad Darrani, dan yang
lainnya. Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsauri berbicara tentang masalah ini
(sufi dan tasawwuf), tapi sebagian mereka mengatakan riwayat itu berasal dari
Al Hasan Al Bashri.[2]
Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri yang
berkata, “Aku pernah melihat seorang sufi ketika thawaf kemudian aku memberinya
sesuatu, namun dia tidak mengambilnya dan kemudian berkata, ‘Aku mempunyai
empat daniq(1/6 dirham) dan itu sudah cukup bagiku’.”[3]
Abdurrahman Al Jami’ menegaskan,”Abu
Hasyim Al Kufi adalah orang yang pertama kali dipangil dengan nama Shufi dan
sebelumnya tidak ada seorangpun yang diberi nama dengan nama tersebut. Khanikah
(tempat khusus orang-orang Shufi) yang pertama kali dibangun adalah khanikah
di Ramlah, Syam”.[4] Nichelson seorang seorang
orientalis juga berpendapat seperti pendapatnya Al Jami’.[5]
Al Hamdzani berkata, “Orang-orang yang
berjalan di jalan Allah pada periode awal tidak mengenal kata Shufi, namun kata
itu dikenal pada abad ke tiga hijriyah. Orang yang pertama kali diberi nama
dengan nama tersebut di Baghdad
adalah Abdak, yang merupakan syaikh hebat dan orang Shufi tempo dulu. Penamaan
tersebut sebelum disematkan kepada Bisyr bin Harits Al Hafi dan ‘As bin Muflish
As Saqthi.[6]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa
istilah Shufi dengan tasawwufnya tidak dikenal diabad pertama hijriyah dan
terjadi perselisihan terhadap orang yang
pertama kali menggunakan istilah ini. Namun yang pasti istilah ini
muncul di Iraq dan terbatas
di dua tempat yaitu Bashrah dan Kufah, sedangkan Syaikh DR. Ihsan Ilahi Dzahir lebih
menitikberatkan pada kota
Kufah di Iraq.
Selain asal-usul yang kontradiktif yang
ada pada riwayat-riwayat yang sebagian besar ada pada kitab-kitab karangan
tokoh-tokoh Shufi yang kemudian dinukil oleh ulama Ahlus Sunnah, kontradiksi
juga terjadi pada definisi kata Shufi.
B. Definisi Shufi dan Tasawwuf
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan menyebutkan,
“Mutasawwifun berselisih tentang makna yang dikehendaki oleh kata Shufi itu
sendiri, apakah ia nama sebuah nasab seperti Al Quraisyi, Al Madini atau yang
lainnya. Ada
yang mengatakan bahwa makna kata Shufi adalah nisbat kepada Ahlus Shuffah.
Penisbatan ini salah, karena kalau dinisbatkan dengan Ahlus Shuffah maka kata
tersebut menjadi Shuffi. Ada
juga yang berpendapat dari kata Shaff (yang terdepan dihadapan Allah). Pendapat
ini juga keliru, karena penisbatannya akan menjadi Shaffi. Ada juga yang berpendapat dari kata Shafwah
(yang bersih dari kalangan makhluk). Penisbatan kata ini juga sangat keliru,
penisbatan tersebut akan menjadi Shafawi. Dan ada juga yang berpendapat dari
Shuffah bin Bisyir bin ‘Ad bin Bisyir bin Thabikhak seorang ahli ibadah yang
tinggal dekat Ka’bah.[7]
Penisbatan yang mendekati kebenaran adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyyah[8]
dalam Majmu’ Fatawa, “ mereka menisbatkan pada pakaian yang zhahir yaitu
pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut dengan Shufi. Mereka tidak
mengkhususkan tarekat mereka dengan memakai pakaian dari bulu domba. Mereka
mewajibkan hal itu, tetapi juga tidak membatasi dengan pakaian itu. Akan tetapi
mereka menisbatkan kepada pakaian shuf karena keadaaa zhahir”. Kemudian beliau
berkata,”maka inilah asal tasawwuf, kemudian berkembang menjadi beraneka ragam
dan bercabang-cabang.”[9]
Quthbuddin Al Marwazi, seorang Shufi asal Persia
menyebutkan menyebutkan dalam kitabnya Manaqibush Shufiyyah bahwa definisi tasawwuf
lebih dari dua puluh definisi. Begitu juga As Siraj Ath Thusi dalam Al Luma’,
Al Kalabadzi dalam At Ta’aruf li Madzhabi Ahlit tasawwuf, Asy Syahrawardi dalam
Awariful Ma’arif, dan Ibnul Ajibah Al
Husni dalam Iqadzul Himam. Sedangkan Al Qusyairi menyebutkan dalam Risalahnya
bahwa definisi tasawwuf lebih dari lima puluh definisi dari
orang-orang Sufi tempo dulu. Muhammad Thahir Al Hamidi dalam Al Insan wal Islam
menyebutkan, “Pendapat-pendapat yang diriwayatkan tentang tasawwuf ada yang
mengatakan sekitar dua ribu pendapat”.[10]
Pendapat-pendapat mereka tentang tasawwuf
saling berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin saja
disebabkan karena setiap orang dari mereka menjalankan praktek tasawwuf dengan
cara yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak heran jika
dibelakang hari kelompok ini terpecah beberapa kelompok dengan prinsip yang
sama dan cara yang berbeda-beda. Ulasan ini insya Allah akan dipaparkan pada
perkembangan sejarah Shufi.
Sebagai contoh, berikut akan dipaparkan
sedikit beberapa definisi yang dibuat oleh mereka yang kami nukil dari DR.
Ihsan Ilahi Dzhahir.
Abu Muhammad Al Murtasy ditanya tentang tasawwuf
kemudian menjawab,”tasawwuf ialah ketidak jelasan, kerancuan dan merahasiakan”
Al Junaid berkata, “Orang-orang Shufi
ialah penghuni satu rumah dimana tidak seorang pun yang masuk kedalamnya”.
Al Junaid juga berkata, “ tasawwuf ialah
perjanjian yang tidak ada perdamaian di dalamnya.”.
Al Hajuwiri menyebutkan bahwa,” Orang
Shufi ialah orang yang pergi dari dirinya dan abadi dengan Alah. Ia telah
terbebas dari gengaman watak dan tiba di puncak hakikat.”
Abdurrahman Al Jami menyebutkan bahwa
orang Shufi adalah orang yang keluar dari sifat-sifat.
Abul Hasan Al Kharqani berkata, “ tasawwuf
ialah kata lain dari badan yang mati, hati yang tidak ada lagi dan ruh yang
terbakar”. Al Karqani juga menyebutkan,” Seluruh manusia adalah makhluk, sedang
orang Shufi bukan termasuk makhluk, karena memang ia tidak ada. Atau orang
Shufi itu berada di alam perintah, sedang manusia berada di Alam penciptaan”.
Fariduddin berkata, “Orang-orang Shufi
melaksanakan shalat-shalat mereka di atas Arsy setiap hari”. Dia juga berkata,
“Orang Shufi ialah orang yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dihatinya”.
Dan lain-lain yang tidak akan cukup kertas ini untuk menuliskan definisi yang
mereka sebutkan. Perlu diketahui bahwa penukilan yang dilakukan oleh DR. Ihsan
Ilahi Dzhahir adalah penukilan dari kitab-kitab yang menjadi referensi kelompok
Shufi.[11]
C. Perkembangan
Ilmu Tasawwuf
Sebelumnya telah disebutkan asal muasal
muculnya kata tasawwuf, hal itu merupakan awal kemunculan aliran Shufi.
Sebagaimana juga sudah dipaparkan sebelumnya bahwa Shufi belum muncul kecuali
di awal abad ke-dua hijriah. Meskipun banyak penulis muslim yang berafiliasi
kepada aliran ini menyatakan bibit tasawwuf ada pada diri Rasulullah salallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in.[12] Sebagaimana juga aliran-aliran lain yang
banyak muncul di Persia,
aliran ini juga muncul di tempat ini tepatnya di Kufah dan Bashrah, Iraq.
Istilah tasawwuf muncul akibat dari
kemewahan hidup yang terdapat pada masyarakat terutama pemerintah disaat itu
sehingga hilangnya rasa takut kepada Allah azza wa jalla dan terjadi berbagai
kemaksiatan kepada Allah jalla wa ‘ala. Sehingga sebagian orang berusaha
menjauhi hidup yang penuh dengan kemaksiatan dan melakukan uzlah (mengasingkan
diri) untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Para
ulama selalu menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang berkaitan dengan tasawwuf
bahwa Shufi adalah aliran yang yang terpengaruh dan sarat dengan pemahaman
Budhisme, unsur Nasrani, Yahudi dan Yunani. Sebagaimana yang dikatakan oleh DR.
Ihsan Iahi Dzhahir, “ itulah perkataan orang-orang shufi yang mereka tidak
mengambil dari air tawar dan mata air yang jernih (qur’an dan sunnah), namun
mereka mengambilnya dari para dukun, orang-orang Budha, jinisme, dan para
pendeta kristen.”[13]
DR. Rosihan dan DR. Mukhtar membantah pendapat ini dalam bukunya Ilmu Tasawwuf
dengan mengatakan, “Demikianlah uraian yang mengetengahkan pendapat yang
mengatakan bahwa asal-usul tasawwuf bersumber dari luar islam. Pendapat ini
biasanya berasal dari orientalis, karena paradigmanya hanya melihat bahkan
mengidentikkan ajaran islam dgn ajaran non-islam. Disamping itu paradigmanya
dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.”
Kemudian beliau menyebutkan, “Kebanyakan ahli tasawwuf muslim yang berfikir
moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya tasawwuf hanyalah alqur’an
dan as sunnah, bukan dari luar islam.”[14]
Orang-orang yang dianggap sebagai
mutasawwif di awal-awal kemunculannya, mengacu kepada alqur’an dan as sunnah. Meskipun
demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan karya-karya tokoh-tokoh Shufi
tempo dulu sarat dengan muatan Budhisme, Yahudisme dan Nashranisme sebagaimana
yang diungkap oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir dalam karya beliau. Sedangkan Persia
pada abad dua hijriah penuh dengan pergolakan dan perebutan tahta dalam
pemerintahan. Upaya penjagaan sunnah kurang diperhatikan[15]
oleh pemerintahan sedangkan pikiran-pikiran filosofis Yunani berkembang melalui
penterjemahan-penterjemahan kedalam bahasa Arab maupun Persia. Sehingga banyak yang
terpengaruh pada pemikiran-pemikiran tersebut. Bahkan menciptakan sinkronisasi
antara islam dengan paham-paham tersebut.
Pada perkembangan berikutnya, para ahli
sejarah menyebutkan bahwa tasawwuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawwuf akhlaqi
dan tasawwuf falsafi. Tasawwuf akhlaqi adalah tasawwuf yang mengarah pada
teori-teori perilaku. Ada
yang menyebutkan bahwa tasawwuf model ini banyak dikembangkan oleh kalangan
salaf. Sedangakan tasawwuf falsafi adalah. Tasawwuf yang mengarah pada
teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.[16]
Mungkin tasawwuf model pertama (yaitu tasawwuf akhlaqi) yang disinyalir oleh Ibnul
Jauzi dalam kitab Tablis Iblis bahwa mereka mengacu kepada alqur’an dan
assunnah. Beliau berkata,”orang-orang Shufi pada periode-periode pertama
menetapkan untuk mengacu kepada alqur’an dan assunnah, namun kemudian iblis
memperdayai mereka karena ilmu mereka yang minim”.[17]
Tentu saja minimnya ilmu yang dimaksudkan oleh Ibnul Jauzi tersebut tidaklah
seperti yang kita kira yaitu sebagaimana minimnya pengetahuan orang dimasa
sekarang ini tentang syari’at Allah jalla wa ‘ala.
Ibnul Jauzi menukil ucapan Al Junaid,
“madzhab kami ini terikat dengan dasar yaitu alkitab dan sunnah.” Junaid juga
mengatakan, “ ilmu kami mengikuti kitab dan sunnah. Siapa yang tidak menjaga
alkitab dan tidak menulis hadits berarti dia belum memahami dan tidak layak
untuk diikuti”. Dia juga menyebutkan,
“kami tidak mengambil tasawwuf dari perkataan orang ini dan orang itu, tetapi
dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasaan sehari-hari dan
hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawwuf itu berasal dari kesucian muamalah
dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dengan dunia”.[18]
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa yang
dimaksud oleh Ibnul Jauzi dengan orang-orang periode pertama adalah orang-orang
yang berada pada suatu abad dimana istilah tasawwuf muncul. Yaitu pada abad dua
dan tiga hijriah. Bukan di masa nabi dan
para sahabat. Dan kita mengetahui bagaimana besarnya keilmuan para tokoh-tokoh
Shufi yang hidup para periode tersebut seperti Al Junaid, As Suhrawardi,
Ibrahim bin Adham dan lain-lain. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan,
mereka keluar dari halaqah-halaqah dan jami’ah-jami’ah besar.[19] Meskipun begitu, Ibnul Jauzi menyatakan
mereka adalah orang-orang yang minim keilmuannya sehingga tergelincir pada
suatu bid’ah.
Ahmad bin Hanbal pernah berkata tentang
diri Sary As Saqathi, “dia seorang syaikh yang dikenal karena suka menjamu makanan”.
Kemudian ada yang mengabarkan kepadanya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah
menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepadanya. Maka seketika itu pula
imam Ahmad berkata, “ jauhilah dia”.”[20]
Dari Yunus bin Abdul A’la berkata, “aku
pernah mendengan Asy Syafi’i berkata,’andaikata seorang menjadi seorang Shufi
pada pagi hari, maka pada siang harinya tentu dia akan menjadi orang yang
dungu’.” Asy Syafi’i juga pernah berkata,”tidaklah seorang menekuni tasawwuf
selama empat puluh hari, lalu akalnya kembali normal seperti sedia kala”.[21]
Tokoh-tokoh aliran Shufi, sekalipun mereka
orang-orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah jalla wa ala, menjauhi
hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah namun mereka adalah orang minim
keilmuannya dimata para imam-imam salaf. Mungkin karena mereka hidup di sebuah
zaman, dimana para ulama salafus shaleh hidup dan dekatnya aqidah mereka dengan
aqidah salafus shaleh, sehingga sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa tasawwuf
akhlaqi banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Namun tetap saja para a’immah
memperingati dari kekeliruan paham ini.
Adapun tasawwuf falsafi adalah tasawwuf
yang diadopsi oleh tokoh-tokoh Shufi sekaligus sebagai tokoh Filsafat. Dan ini
banyak dianut oleh orang-orang belakangan semisal Al Hallaj, Ibnu ‘Araby, dan
yang lainnya.
Abdulah Taslim berkata, “Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte: Pertama,
sekte Al Isyraqi,
sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud
dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya
dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai
dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini
sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini
cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada
ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul
Wujud (bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling
Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan),
meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena
ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama
Budha dan Hindu.
Kedua, sekte Al Hulul,
yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza
wa Jalla dari sifat ini-. Keyakinan
ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin
Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan
dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib.
Memang Al Hallaj
-seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini-
adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan
beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua
tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut
(unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis
ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al
Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.
Ketiga, sekte Wihdatul Wujud,
yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala
sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan
perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza wa Jalla ) – maha suci
Allah ‘Azza wa Jalla dari segala
keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath
Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad
Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan
dikuburkan di Damaskus. (Lihat
Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)”. [22]
Dalam perkembangan berikutnya, Shufi terpecah menjadi beberapa aliran
yang sesuai dengan thariqah tokoh yang membawanya. Diantaranya Naqsabandiyyah,
Qaadiriyyah, Jistiyyah, Sahruwardiyyah[23],Syatariyyah
dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN dan PENUTUP
Untuk mengakhiri makalah ini, maka
dapatlah kami sebutkan beberapa hal yang penting yang merupakan sebagai
kesimpulan dari makalah ini.
Ø
Shufi adalah sebuah aliran dalam islam yang
memiliki kontroversial yang banyak sejak kemunculannya.
Ø
Meskipun sebagian penulis yang berafiliasi
terhadap aliran ini mempertahankan tasawwuf sudah ada pada diri Rasullullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau ridwanullah alaihim ajmain,
namun hakekat yang terlihat malah sebaliknya. Hal ini sudah ditulis oleh para
ulama salafus shaleh dalam kitab-kitab mereka sejak kemunculan aliran ini.
Ø
Zuhud yang dilakukan oleh kelompok ini
sebagaimana yang disebutkan oleh a’immah seperti Ibnu Hanbal, Ibnul Jauzi dan
lainnya keluar dari koridor alqur’an dan assunnah.
Ø
Minimnya keilmuan mutasawwifun tentang syariat
Allah jalla wa ‘ala menurut para ulama ahlussunnah.
Ø
Para ahli sejarah membagi tasawwuf menjadi dua
yaitu tasawwuf akhlaqi dan tasawwuf falsafi.
Ø
Terpecahnya aliran ini kepada beberapa thariqah
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sallallahu alaihi
wa sallam, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari
akhir.
DAFTAR
PUSTAKA
v
Ahmad Al Usairy,
Sejarah Islam (At Tarikhul Islamy), Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, cetakan kelima,
1428 H / 2007M.
v
Abu Ubaidah Yusuf As
Sidawi, Meluruskan Sejarah Wahhabi, Pustaka Al Furqan, Surabaya, cetakan
pertama, 1427 H
v
Abdul Hakim bin
Amier Abdat, Sudahkan Anda Mengenal Jama’ah Tabligh, Darul Qalam, Jakarta,
cetakan pertama, 1423 H / 2003 M
v
Abul Faraj Ibnul
Jauzi, Perangkap Syetan (Talbisu Iblis), Jakarta, Pustaka Al Kautsar, cetakan
kedua, 1998 M
v
Ihsan Ilahi Dzahir,
DR., Sejarah Hitam Tasawwuf (Al Mansya’ wal Mashadir), Darul Falah, Jakarta,
cetakan pertama, 1422 H / 2001 M
v
Mustafa Zahri, DR.,
Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1998 M
v
Rosihan Anwar, DR.
dan Mukhtar Solihin, DR., Ilmu Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, cetakan kedua,
2004 M
v
Shalih bin Fauzan Al
Fauzan, DR., Hakikat Tasawwuf (Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min
Ushulil Ibadah wad Diin), Pustaka As Salaf, Solo, cetakan pertama, 1419 H /
1998 M
v
Salim bin ‘Ied Al
Hilaly, Al Bid’ah wa Atsaruha Assayyi’u fil Ummah, Darul Hijrah, Mamlakah Saudi
Arabiya-Dammam, cetakan ketiga, 1409 H
v
Majalah Islamiya vol
3, Khairul Bayaan Press, 2008 M
[1]
DR. Rosihan Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka
Setia, 2004 M, hal. 44
[2]
DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah
min Ushulil Ibadah wad Diin (terj. Hakikat Tasawwuf), Solo, Pustaka As
Salaf, 1998 M, hal. 17
[3]
DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam
Tasawwuf, latar belakang kesesatan kaum Shufi), Jakarta, Darul Falah, 2001 M, hal. 39
[4] ibid
[5] Ibid, hal. 41
[6] ibid
[7]
DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah
min Ushulil Ibadah wad Diin (terj. Hakikat Tasawwuf), Solo, Pustaka
As Salaf, 1998 M, hal. 17 dengan sedikit perubahan.
[8]
Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyyah dan para a’immah salaf lainnya yang
menjadi sasaran fitnah Shufiyyah. Aliran ini membesar-besarkan julukan yang
diberikan Inggris kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau
dengan sebutan wahaby untuk menjauhkan ummat dari ulama’-ulama’ mereka. Aliran
ini menyatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab mengacu kepada Ibnu Taimiyyah
yang menciptakan tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah
atau disebut juga tauhid ibadah, dan tauhid asma’ wa shifat. Padahal jika
mereka membuka hatinya untuk menelaah alqur’an dan assunnah sesuai dengan
pemahaman Nabi salallahu alahi wa sallam dan para sahabat beliau, maka mereka
akan melihat pembagian tuhid tersebut bukan berasal dari Ibnu Taimiyyah
melainkan dari aqidah Nabi sallallahu alahi wa sallam dan Sahabat beliau radiallahu
‘anhum yang teraplikasi dalam kehidupan mereka.
[9]
Ibid, hal. 18
[10]
DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam
Tasawwuf, latar belakang kesesatan kaum Shufi), Jakarta, Darul Falah, 2001 M, hal. 33-34
dengan ringkas.
[11] Untuk lebih jelas
silahkan merujuk kepada kitab Al Mansya’ wal Mashadir karya Syaikh DR. Ihsan Ilahi Dzhahir.
[12]
Sungguh aneh jika Rasulullah disebut Mutasawwif atau guru besar Shufi pertama
sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Mustafa Zahri dengan berlandaskan pada
tahannuts beliau di gua Hira’. Tidak ada satu sisipun yang tepat jika
Rasulullah saw. dikatakan sebagai Imam Besar Shufi. Dari segi kata saja,
istilah Shufi adalah sesuatu yang baru dan sebagian ulama salaf muta’akhirin
memvonis bid’ah. Apalagi kandungan ajaran yang ada pada aliran ini serta
firqah-firqahnya yang sangat kontroversial dengan sunnah nabawiyyah. Padahal
Rasulullah sangat benci yang namanya bid’ah sebgaimana dalam hadits ‘Aisyah.
Banyak sekali landasan berpijak penganut Shufi dalam hidup zuhud bahkan dalam
aqidah dengan berdasarkan hadits-hadits yang dhaif bahkan maudhu’. Banyak
kalangan menganggap bahwa hadits terbagi dua, yaitu hasanah dan sayyi’ah.
Padahal para ulama salaf sudah begitu banyak menulis tentang bid’ah. Dan bahkan
Syaikh Salim bin Ied al Hilali membuat bab manis tahsana faqad syara’a
dalam kitab Al Bid’ah wa Atsaruha Syayyi’u fil Ummah. Ibnul Jauzi
menyebutkan, “orang-orang Shufi pada periode pertama menetapkan untuk mengacu
kepada alqur’an dan assunnah, namun kemudian iblis memperdayai mereka karena
ilmu mereka yang minim.”
[13] DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al
Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam Tasawwuf, latar belakang kesesatan
kaum Shufi), Jakarta,
Darul Falah, 2001 M, hal. 66
[14]
DR. Rosihan Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka
Setia, 2004 M, hal. 39
[15]
Kecuali orang-orang yang Allah beri petunjuk untuk menjaga sunnah Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah merahmati Ahmad bin Hanbal, Imam
penegak sunnah disaat terjadinya fitnah jahmiyyah, murjiah, mu’tazilah dan
shufiyyah.
[16] DR. Rosihan Anwar, M.Ag.
dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2004 M, hal. 49
[17] Ibnul Jauzi, Talbisu
Iblils (terj. Perangkap Syaithan), Jakarta,
Pustaka Al Kautsar, 1998 M, hal. 195
[18] Ibid, hal. 196
[19]
As Suhrawardi misalnya, dia adalah alumnus Jami’ah Al Azhar Mesir pada
periode-periode awal. Dan kita mengetahui bahwa banyak sekali ulama’-ulama’
besar yang lahir dari Al Azhar diantaranya, Ibnu Hisyam, Ibnu ‘Aqil, Ibnu
Maqram, Fairuz Abadi, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan lain-lain. Sedangkan ulama’
kontemporer yang lahir dari Al Azhar seperti Al Maraghi dan Muhammad Rasyid
Ridha dan yang lainnya. Selain ulama’-ulama’ ahlussunnah, banyak juga
alumnus-alumnus Al Azhar yang tergelincir namun dijadikan sebagai panutan oleh
sebagian kaum muslimin. Diantara mereka adalah Hasan Al Banna pendiri Ikhwanul
Muslimin, Rifa’at Tanthawi yang menghalakan dansa-dansi pria dan wanita setelah
kepulangannya dari Perancis, Muhammad Abduh yang terpengaruh dengan pemikiran
rasionalis dan lain-lain Semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan mereka
semua, menjauhkan kaum muslimin dari kekeliruan mereka dan menunjukkan kaum
muslimin kepada hidayah.-Nya.. Sedangkan tokoh di Indonesia
alumnus Al Azhar yang tergelincir adalah Harun Nasutioan yang sukses
menciptakan IAIN dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia menjadi liberal dan lebih
rasionalis bahkan dia menginkari rukun iman yang ke enam yaitu iman kepada
taqdir baik maupun buruk. Prof. Dr. HM Rasyidi dari awal telah berupaya untuk
memperingati kekeliruan pemikiran Harun Nasution terutama terhadap buku Islam
ditinjau dari beberapa aspek yang dijadikan mata kuliah wajib di setiap
fakultas di IAIN saat itu. Namun kritikan Rasyidi tidak digubris oleh
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kewenangan terhadap IAIN dan perguruan
tinggi islam di Indonesia.
(lihat majalah islamia vol. 3 tahun 2008 hal. 60 )
[20] Ibnul Jauzi, Talbisu
Iblils (terj. Perangkap Syaithan), Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1998 M, hal. 197
[21] Ibid hal. 309
[22] Abdullah Taslim, Hakikat
Tasawwuf, www. muslim.or.id
[23] Keempat thariqah inilah
yang menjadi dasar munculnya jama’ah tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas
dari India, kemudian
menyebar sampai ke Asia (Indonesia,
Malaysia
dll.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar