Minggu, 25 Maret 2012

Sejarah Shufi

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
BAB I
PENDAHULUAN

Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia Islam, dan segi sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun nonmuslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tsawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain, paham ini kebanyakan oleh para orientalis dan yang orang-orang yang berpengaruh di kalangan orientalis ini. Dimana mereka menulisnya pada sumber-sumber asing, disamping Al-Qur’an  dan kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. mereka mengatakan bahwa tasawuf Islam tumbuh karena terpengaruh oleh ajaran luar Islam.
Mengingat luasnya pembahasan tentang tasawuf ini maka pemakalah hanya membahas tentang; asal usul tasawuf, makna tasawuf dan perkembangannya sebagaimana yang dibebankan kepada kami.
Sementara itu, banyak para pakar tasawuf menyatakan bahwa tasawuf bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan aplikasinya pada kehidupan rasulullah dan para sahabat, namun pemakalah lebih mengambil apa yang telah digoreskan oleh pena-pena para ulama sunnah bahwa tasawuf, meskipun tokoh-tokohnya kembali kepada Al-qur’an dan Sunnah, namun terjadi kontaminasi dengan beberapa agama lain. Untuk lebih lengkapnya pemakalah akan memaparkan pada makalah ini.









BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF

Sebelum melangkah kepada sejarah pembentukan tasawwuf menjadi sebuah ilmu, terlebih dahulu dalam makalah ini diuraikan sedikit pembahasan asal-usul kata shufi dan tasawwuf.

A. Asal-Usul Kata Shufi dan Tasawuf
Para ulama berselisih pendapat tentang permulaan muncul kata sufi dan tasawwuf dan penggunaanya. Kata sufi dan tasawwuf tidak di kenal diabad pertama hijriah, meskipun sebagian tokoh-tokoh sufi menyatakan bahwa benih-benih sufi banyak ditemui dikehidupan Rasulullah saw beserta para sahabat beliau radiallahu ‘anhum.
Pada kehidupan Rasullullah terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah seorang sufi, yaitu dengan ‘uzlahnya beliu ke ghar al hira’, hidup dengan cara zuhud dan meninggalkan pola hidup kebendaan (material).[1]
Kemudian pola hidup seperti ini diikuti oleh orang belakang hari, sehingga istilah tasawwuf dan sufi menjadi terkenal diawal abad 2 H, dan ada yang menyatakan bahwa istilah ini muncul dari Al Hasan Al Bashri. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa bahwa, “Adapun kata Sufi tidak dikenal di tiga masa yang utama (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu. Hal ini banyak dinukil oleh para A’immah seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Sulaiman Ad Darrani, dan yang lainnya. Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsauri berbicara tentang masalah ini (sufi dan tasawwuf), tapi sebagian mereka mengatakan riwayat itu berasal dari Al Hasan Al Bashri.[2]
Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri yang berkata, “Aku pernah melihat seorang sufi ketika thawaf kemudian aku memberinya sesuatu, namun dia tidak mengambilnya dan kemudian berkata, ‘Aku mempunyai empat daniq(1/6 dirham) dan itu sudah cukup bagiku’.”[3]
Abdurrahman Al Jami’ menegaskan,”Abu Hasyim Al Kufi adalah orang yang pertama kali dipangil dengan nama Shufi dan sebelumnya tidak ada seorangpun yang diberi nama dengan nama tersebut. Khanikah (tempat khusus orang-orang Shufi) yang pertama kali dibangun adalah khanikah di Ramlah, Syam”.[4] Nichelson seorang seorang orientalis juga berpendapat seperti pendapatnya Al Jami’.[5]
Al Hamdzani berkata, “Orang-orang yang berjalan di jalan Allah pada periode awal tidak mengenal kata Shufi, namun kata itu dikenal pada abad ke tiga hijriyah. Orang yang pertama kali diberi nama dengan nama tersebut di Baghdad adalah Abdak, yang merupakan syaikh hebat dan orang Shufi tempo dulu. Penamaan tersebut sebelum disematkan kepada Bisyr bin Harits Al Hafi dan ‘As bin Muflish As Saqthi.[6]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa istilah Shufi dengan tasawwufnya tidak dikenal diabad pertama hijriyah dan terjadi perselisihan terhadap orang yang  pertama kali menggunakan istilah ini. Namun yang pasti istilah ini muncul di Iraq dan terbatas di dua tempat yaitu Bashrah dan Kufah, sedangkan Syaikh DR. Ihsan Ilahi Dzahir lebih menitikberatkan pada kota Kufah di Iraq.
Selain asal-usul yang kontradiktif yang ada pada riwayat-riwayat yang sebagian besar ada pada kitab-kitab karangan tokoh-tokoh Shufi yang kemudian dinukil oleh ulama Ahlus Sunnah, kontradiksi juga terjadi pada definisi kata Shufi.

B. Definisi Shufi dan Tasawwuf
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan menyebutkan, “Mutasawwifun berselisih tentang makna yang dikehendaki oleh kata Shufi itu sendiri, apakah ia nama sebuah nasab seperti Al Quraisyi, Al Madini atau yang lainnya. Ada yang mengatakan bahwa makna kata Shufi adalah nisbat kepada Ahlus Shuffah. Penisbatan ini salah, karena kalau dinisbatkan dengan Ahlus Shuffah maka kata tersebut menjadi Shuffi. Ada juga yang berpendapat dari kata Shaff (yang terdepan dihadapan Allah). Pendapat ini juga keliru, karena penisbatannya akan menjadi Shaffi. Ada juga yang berpendapat dari kata Shafwah (yang bersih dari kalangan makhluk). Penisbatan kata ini juga sangat keliru, penisbatan tersebut akan menjadi Shafawi. Dan ada juga yang berpendapat dari Shuffah bin Bisyir bin ‘Ad bin Bisyir bin Thabikhak seorang ahli ibadah yang tinggal dekat Ka’bah.[7] Penisbatan yang mendekati kebenaran adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah[8] dalam Majmu’ Fatawa, “ mereka menisbatkan pada pakaian yang zhahir yaitu pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut dengan Shufi. Mereka tidak mengkhususkan tarekat mereka dengan memakai pakaian dari bulu domba. Mereka mewajibkan hal itu, tetapi juga tidak membatasi dengan pakaian itu. Akan tetapi mereka menisbatkan kepada pakaian shuf karena keadaaa zhahir”. Kemudian beliau berkata,”maka inilah asal tasawwuf, kemudian berkembang menjadi beraneka ragam dan bercabang-cabang.”[9]
Quthbuddin Al Marwazi, seorang Shufi asal Persia menyebutkan menyebutkan dalam kitabnya Manaqibush Shufiyyah bahwa definisi tasawwuf lebih dari dua puluh definisi. Begitu juga As Siraj Ath Thusi dalam Al Luma’, Al Kalabadzi dalam At Ta’aruf li Madzhabi Ahlit tasawwuf, Asy Syahrawardi dalam Awariful Ma’arif,  dan Ibnul Ajibah Al Husni dalam Iqadzul Himam. Sedangkan Al Qusyairi menyebutkan dalam Risalahnya bahwa definisi tasawwuf  lebih dari lima puluh definisi dari orang-orang Sufi tempo dulu. Muhammad Thahir Al Hamidi dalam Al Insan wal Islam menyebutkan, “Pendapat-pendapat yang diriwayatkan tentang tasawwuf ada yang mengatakan sekitar dua ribu pendapat”.[10]
Pendapat-pendapat mereka tentang tasawwuf saling berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin saja disebabkan karena setiap orang dari mereka menjalankan praktek tasawwuf dengan cara yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak heran jika dibelakang hari kelompok ini terpecah beberapa kelompok dengan prinsip yang sama dan cara yang berbeda-beda. Ulasan ini insya Allah akan dipaparkan pada perkembangan sejarah Shufi.
Sebagai contoh, berikut akan dipaparkan sedikit beberapa definisi yang dibuat oleh mereka yang kami nukil dari DR. Ihsan Ilahi Dzhahir.
Abu Muhammad Al Murtasy ditanya tentang tasawwuf kemudian menjawab,”tasawwuf ialah ketidak jelasan, kerancuan dan merahasiakan”
Al Junaid berkata, “Orang-orang Shufi ialah penghuni satu rumah dimana tidak seorang pun yang masuk kedalamnya”.
Al Junaid juga berkata, “ tasawwuf ialah perjanjian yang tidak ada perdamaian di dalamnya.”.
Al Hajuwiri menyebutkan bahwa,” Orang Shufi ialah orang yang pergi dari dirinya dan abadi dengan Alah. Ia telah terbebas dari gengaman watak dan tiba di puncak hakikat.”
Abdurrahman Al Jami menyebutkan bahwa orang Shufi adalah orang yang keluar dari sifat-sifat.
Abul Hasan Al Kharqani berkata, “ tasawwuf ialah kata lain dari badan yang mati, hati yang tidak ada lagi dan ruh yang terbakar”. Al Karqani juga menyebutkan,” Seluruh manusia adalah makhluk, sedang orang Shufi bukan termasuk makhluk, karena memang ia tidak ada. Atau orang Shufi itu berada di alam perintah, sedang manusia berada di Alam penciptaan”.
Fariduddin berkata, “Orang-orang Shufi melaksanakan shalat-shalat mereka di atas Arsy setiap hari”. Dia juga berkata, “Orang Shufi ialah orang yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dihatinya”. Dan lain-lain yang tidak akan cukup kertas ini untuk menuliskan definisi yang mereka sebutkan. Perlu diketahui bahwa penukilan yang dilakukan oleh DR. Ihsan Ilahi Dzhahir adalah penukilan dari kitab-kitab yang menjadi referensi kelompok Shufi.[11]


C. Perkembangan Ilmu Tasawwuf
Sebelumnya telah disebutkan asal muasal muculnya kata tasawwuf, hal itu merupakan awal kemunculan aliran Shufi. Sebagaimana juga sudah dipaparkan sebelumnya bahwa Shufi belum muncul kecuali di awal abad ke-dua hijriah. Meskipun banyak penulis muslim yang berafiliasi kepada aliran ini menyatakan bibit tasawwuf ada pada diri Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in.[12]  Sebagaimana juga aliran-aliran lain yang banyak muncul di Persia, aliran ini juga muncul di tempat ini tepatnya di Kufah dan Bashrah, Iraq.
Istilah tasawwuf muncul akibat dari kemewahan hidup yang terdapat pada masyarakat terutama pemerintah disaat itu sehingga hilangnya rasa takut kepada Allah azza wa jalla dan terjadi berbagai kemaksiatan kepada Allah jalla wa ‘ala. Sehingga sebagian orang berusaha menjauhi hidup yang penuh dengan kemaksiatan dan melakukan uzlah (mengasingkan diri) untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Para ulama selalu menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang berkaitan dengan tasawwuf bahwa Shufi adalah aliran yang yang terpengaruh dan sarat dengan pemahaman Budhisme, unsur Nasrani, Yahudi dan Yunani. Sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Ihsan Iahi Dzhahir, “ itulah perkataan orang-orang shufi yang mereka tidak mengambil dari air tawar dan mata air yang jernih (qur’an dan sunnah), namun mereka mengambilnya dari para dukun, orang-orang Budha, jinisme, dan para pendeta kristen.”[13] DR. Rosihan dan DR. Mukhtar membantah pendapat ini dalam bukunya Ilmu Tasawwuf dengan mengatakan, “Demikianlah uraian yang mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa asal-usul tasawwuf bersumber dari luar islam. Pendapat ini biasanya berasal dari orientalis, karena paradigmanya hanya melihat bahkan mengidentikkan ajaran islam dgn ajaran non-islam. Disamping itu paradigmanya dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.” Kemudian beliau menyebutkan, “Kebanyakan ahli tasawwuf muslim yang berfikir moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya tasawwuf hanyalah alqur’an dan as sunnah, bukan dari luar islam.”[14]
Orang-orang yang dianggap sebagai mutasawwif di awal-awal kemunculannya, mengacu kepada alqur’an dan as sunnah. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan karya-karya tokoh-tokoh Shufi tempo dulu sarat dengan muatan Budhisme, Yahudisme dan Nashranisme sebagaimana yang diungkap oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir dalam karya beliau. Sedangkan Persia pada abad dua hijriah penuh dengan pergolakan dan perebutan tahta dalam pemerintahan. Upaya penjagaan sunnah kurang diperhatikan[15] oleh pemerintahan sedangkan pikiran-pikiran filosofis Yunani berkembang melalui penterjemahan-penterjemahan kedalam bahasa Arab maupun Persia. Sehingga banyak yang terpengaruh pada pemikiran-pemikiran tersebut. Bahkan menciptakan sinkronisasi antara islam dengan paham-paham tersebut.
Pada perkembangan berikutnya, para ahli sejarah menyebutkan bahwa tasawwuf  terbagi menjadi dua, yaitu tasawwuf akhlaqi dan tasawwuf falsafi. Tasawwuf akhlaqi adalah tasawwuf yang mengarah pada teori-teori perilaku. Ada yang menyebutkan bahwa tasawwuf model ini banyak dikembangkan oleh kalangan salaf. Sedangakan tasawwuf falsafi adalah. Tasawwuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.[16]
Mungkin tasawwuf model pertama (yaitu  tasawwuf akhlaqi) yang disinyalir oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Tablis Iblis bahwa mereka mengacu kepada alqur’an dan assunnah. Beliau berkata,”orang-orang Shufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk mengacu kepada alqur’an dan assunnah, namun kemudian iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang minim”.[17] Tentu saja minimnya ilmu yang dimaksudkan oleh Ibnul Jauzi tersebut tidaklah seperti yang kita kira yaitu sebagaimana minimnya pengetahuan orang dimasa sekarang ini tentang syari’at Allah jalla wa ‘ala.
Ibnul Jauzi menukil ucapan Al Junaid, “madzhab kami ini terikat dengan dasar yaitu alkitab dan sunnah.” Junaid juga mengatakan, “ ilmu kami mengikuti kitab dan sunnah. Siapa yang tidak menjaga alkitab dan tidak menulis hadits berarti dia belum memahami dan tidak layak untuk diikuti”.  Dia juga menyebutkan, “kami tidak mengambil tasawwuf dari perkataan orang ini dan orang itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasaan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawwuf itu berasal dari kesucian muamalah dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dengan dunia”.[18]
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Ibnul Jauzi dengan orang-orang periode pertama adalah orang-orang yang berada pada suatu abad dimana istilah tasawwuf muncul. Yaitu pada abad dua dan tiga hijriah. Bukan di masa  nabi dan para sahabat. Dan kita mengetahui bagaimana besarnya keilmuan para tokoh-tokoh Shufi yang hidup para periode tersebut seperti Al Junaid, As Suhrawardi, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan, mereka keluar dari halaqah-halaqah dan jami’ah-jami’ah besar.[19]  Meskipun begitu, Ibnul Jauzi menyatakan mereka adalah orang-orang yang minim keilmuannya sehingga tergelincir pada suatu bid’ah.
Ahmad bin Hanbal pernah berkata tentang diri Sary As Saqathi, “dia seorang syaikh yang dikenal karena suka menjamu makanan”. Kemudian ada yang mengabarkan kepadanya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepadanya. Maka seketika itu pula imam Ahmad berkata, “ jauhilah dia”.”[20]
Dari Yunus bin Abdul A’la berkata, “aku pernah mendengan Asy Syafi’i berkata,’andaikata seorang menjadi seorang Shufi pada pagi hari, maka pada siang harinya tentu dia akan menjadi orang yang dungu’.” Asy Syafi’i juga pernah berkata,”tidaklah seorang menekuni tasawwuf selama empat puluh hari, lalu akalnya kembali normal seperti sedia kala”.[21]
Tokoh-tokoh aliran Shufi, sekalipun mereka orang-orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah jalla wa ala, menjauhi hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah namun mereka adalah orang minim keilmuannya dimata para imam-imam salaf. Mungkin karena mereka hidup di sebuah zaman, dimana para ulama salafus shaleh hidup dan dekatnya aqidah mereka dengan aqidah salafus shaleh, sehingga sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa tasawwuf akhlaqi banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Namun tetap saja para a’immah memperingati dari kekeliruan paham ini.
Adapun tasawwuf falsafi adalah tasawwuf yang diadopsi oleh tokoh-tokoh Shufi sekaligus sebagai tokoh Filsafat. Dan ini banyak dianut oleh orang-orang belakangan semisal Al Hallaj, Ibnu ‘Araby, dan yang lainnya.
Abdulah Taslim berkata, “Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte: Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla  ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla  dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.
Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla  bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza wa Jalla  dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib.
Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.
Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza wa Jalla ) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla  dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)”. [22]
Dalam perkembangan berikutnya, Shufi terpecah menjadi beberapa aliran yang sesuai dengan thariqah tokoh yang membawanya. Diantaranya Naqsabandiyyah, Qaadiriyyah, Jistiyyah, Sahruwardiyyah[23],Syatariyyah dan lain-lain. 


BAB III
KESIMPULAN dan PENUTUP

            Untuk mengakhiri makalah ini, maka dapatlah kami sebutkan beberapa hal yang penting yang merupakan sebagai kesimpulan dari makalah ini.
Ø  Shufi adalah sebuah aliran dalam islam yang memiliki kontroversial yang banyak sejak kemunculannya.
Ø  Meskipun sebagian penulis yang berafiliasi terhadap aliran ini mempertahankan tasawwuf sudah ada pada diri Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau ridwanullah alaihim ajmain, namun hakekat yang terlihat malah sebaliknya. Hal ini sudah ditulis oleh para ulama salafus shaleh dalam kitab-kitab mereka sejak kemunculan aliran ini.
Ø  Zuhud yang dilakukan oleh kelompok ini sebagaimana yang disebutkan oleh a’immah seperti Ibnu Hanbal, Ibnul Jauzi dan lainnya keluar dari koridor alqur’an dan assunnah.
Ø  Minimnya keilmuan mutasawwifun tentang syariat Allah jalla wa ‘ala menurut para ulama ahlussunnah.
Ø  Para ahli sejarah membagi tasawwuf menjadi dua yaitu tasawwuf akhlaqi dan tasawwuf falsafi.
Ø  Terpecahnya aliran ini kepada beberapa thariqah
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari akhir.








DAFTAR PUSTAKA

v    Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam (At Tarikhul Islamy), Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, cetakan kelima, 1428 H / 2007M.
v    Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi, Meluruskan Sejarah Wahhabi, Pustaka Al Furqan, Surabaya, cetakan pertama, 1427 H
v    Abdul Hakim bin Amier Abdat, Sudahkan Anda Mengenal Jama’ah Tabligh, Darul Qalam, Jakarta, cetakan pertama, 1423 H / 2003 M
v    Abul Faraj Ibnul Jauzi, Perangkap Syetan (Talbisu Iblis), Jakarta, Pustaka Al Kautsar, cetakan kedua, 1998 M
v    Ihsan Ilahi Dzahir, DR., Sejarah Hitam Tasawwuf (Al Mansya’ wal Mashadir), Darul Falah, Jakarta, cetakan pertama, 1422 H / 2001 M
v    Mustafa Zahri, DR., Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1998 M
v    Rosihan Anwar, DR. dan Mukhtar Solihin, DR., Ilmu Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, cetakan kedua, 2004 M
v    Shalih bin Fauzan Al Fauzan, DR., Hakikat Tasawwuf (Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin), Pustaka As Salaf, Solo, cetakan pertama, 1419 H / 1998 M
v    Salim bin ‘Ied Al Hilaly, Al Bid’ah wa Atsaruha Assayyi’u fil Ummah, Darul Hijrah, Mamlakah Saudi Arabiya-Dammam, cetakan ketiga, 1409 H
v    Majalah Islamiya vol 3, Khairul Bayaan Press, 2008 M










[1] DR. Rosihan Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2004 M, hal. 44
[2] DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin (terj. Hakikat Tasawwuf), Solo, Pustaka As Salaf, 1998 M, hal. 17
[3] DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam Tasawwuf, latar belakang kesesatan kaum Shufi), Jakarta, Darul Falah, 2001 M, hal. 39
[4] ibid
[5] Ibid, hal. 41
[6] ibid
[7] DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Haqiqatut Tasawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin (terj. Hakikat Tasawwuf), Solo, Pustaka As Salaf, 1998 M, hal. 17 dengan sedikit perubahan.
[8] Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyyah dan para a’immah salaf lainnya yang menjadi sasaran fitnah Shufiyyah. Aliran ini membesar-besarkan julukan yang diberikan Inggris kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau dengan sebutan wahaby untuk menjauhkan ummat dari ulama’-ulama’ mereka. Aliran ini menyatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab mengacu kepada Ibnu Taimiyyah yang menciptakan tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah atau disebut juga tauhid ibadah, dan tauhid asma’ wa shifat. Padahal jika mereka membuka hatinya untuk menelaah alqur’an dan assunnah sesuai dengan pemahaman Nabi salallahu alahi wa sallam dan para sahabat beliau, maka mereka akan melihat pembagian tuhid tersebut bukan berasal dari Ibnu Taimiyyah melainkan dari aqidah Nabi sallallahu alahi wa sallam dan Sahabat beliau radiallahu ‘anhum yang teraplikasi dalam kehidupan mereka.
[9] Ibid, hal. 18
[10] DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam Tasawwuf, latar belakang kesesatan kaum Shufi), Jakarta, Darul Falah, 2001 M, hal. 33-34 dengan ringkas.
[11] Untuk lebih jelas silahkan merujuk kepada kitab Al Mansya’ wal Mashadir karya Syaikh DR. Ihsan Ilahi Dzhahir.
[12] Sungguh aneh jika Rasulullah disebut Mutasawwif atau guru besar Shufi pertama sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Mustafa Zahri dengan berlandaskan pada tahannuts beliau di gua Hira’. Tidak ada satu sisipun yang tepat jika Rasulullah saw. dikatakan sebagai Imam Besar Shufi. Dari segi kata saja, istilah Shufi adalah sesuatu yang baru dan sebagian ulama salaf muta’akhirin memvonis bid’ah. Apalagi kandungan ajaran yang ada pada aliran ini serta firqah-firqahnya yang sangat kontroversial dengan sunnah nabawiyyah. Padahal Rasulullah sangat benci yang namanya bid’ah sebgaimana dalam hadits ‘Aisyah. Banyak sekali landasan berpijak penganut Shufi dalam hidup zuhud bahkan dalam aqidah dengan berdasarkan hadits-hadits yang dhaif bahkan maudhu’. Banyak kalangan menganggap bahwa hadits terbagi dua, yaitu hasanah dan sayyi’ah. Padahal para ulama salaf sudah begitu banyak menulis tentang bid’ah. Dan bahkan Syaikh Salim bin Ied al Hilali membuat bab manis tahsana faqad syara’a dalam kitab Al Bid’ah wa Atsaruha Syayyi’u fil Ummah. Ibnul Jauzi menyebutkan, “orang-orang Shufi pada periode pertama menetapkan untuk mengacu kepada alqur’an dan assunnah, namun kemudian iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang minim.”
[13] DR. Ihsan Ilahi Zhahir, Al Mansya’ wal Mashadir (terj. Sejarah Hitam Tasawwuf, latar belakang kesesatan kaum Shufi), Jakarta, Darul Falah, 2001 M, hal. 66
[14] DR. Rosihan Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2004 M, hal. 39
[15] Kecuali orang-orang yang Allah beri petunjuk untuk menjaga sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah merahmati Ahmad bin Hanbal, Imam penegak sunnah disaat terjadinya fitnah jahmiyyah, murjiah, mu’tazilah dan shufiyyah.
[16] DR. Rosihan Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag., Ilmu Tasawwuf, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2004 M, hal. 49
[17] Ibnul Jauzi, Talbisu Iblils (terj. Perangkap Syaithan), Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1998 M, hal. 195
[18] Ibid, hal. 196
[19] As Suhrawardi misalnya, dia adalah alumnus Jami’ah Al Azhar Mesir pada periode-periode awal. Dan kita mengetahui bahwa banyak sekali ulama’-ulama’ besar yang lahir dari Al Azhar diantaranya, Ibnu Hisyam, Ibnu ‘Aqil, Ibnu Maqram, Fairuz Abadi, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan lain-lain. Sedangkan ulama’ kontemporer yang lahir dari Al Azhar seperti Al Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridha dan yang lainnya. Selain ulama’-ulama’ ahlussunnah, banyak juga alumnus-alumnus Al Azhar yang tergelincir namun dijadikan sebagai panutan oleh sebagian kaum muslimin. Diantara mereka adalah Hasan Al Banna pendiri Ikhwanul Muslimin, Rifa’at Tanthawi yang menghalakan dansa-dansi pria dan wanita setelah kepulangannya dari Perancis, Muhammad Abduh yang terpengaruh dengan pemikiran rasionalis dan lain-lain Semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan mereka semua, menjauhkan kaum muslimin dari kekeliruan mereka dan menunjukkan kaum muslimin kepada hidayah.-Nya.. Sedangkan tokoh di Indonesia alumnus Al Azhar yang tergelincir adalah Harun Nasutioan yang sukses menciptakan IAIN dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia menjadi liberal dan lebih rasionalis bahkan dia menginkari rukun iman yang ke enam yaitu iman kepada taqdir baik maupun buruk. Prof. Dr. HM Rasyidi dari awal telah berupaya untuk memperingati kekeliruan pemikiran Harun Nasution terutama terhadap buku Islam ditinjau dari beberapa aspek yang dijadikan mata kuliah wajib di setiap fakultas di IAIN saat itu. Namun kritikan Rasyidi tidak digubris oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kewenangan terhadap IAIN dan perguruan tinggi islam di Indonesia. (lihat majalah islamia vol. 3 tahun 2008 hal. 60 )
[20] Ibnul Jauzi, Talbisu Iblils (terj. Perangkap Syaithan), Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1998 M, hal. 197
[21] Ibid hal. 309
[22] Abdullah Taslim, Hakikat Tasawwuf, www. muslim.or.id
[23] Keempat thariqah inilah yang menjadi dasar munculnya jama’ah tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas dari India, kemudian menyebar sampai ke Asia (Indonesia, Malaysia dll.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar