Selasa, 20 Maret 2012

PENDEKATAN STUDI AREA DAN STUDI ISLAM


PENDEKATAN STUDI AREA DAN STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Studi Islam tampaknya masih merupakan sebuah harapan, karena sampai saat ini, di berbagai wilayah dimana Islam merupakan agama mayoritas para penduduk, studi Islam belum banyak dilakukan. Meskipun demikian, upaya untuk mengembangkan studi Islam di berbagai wilayah tetap diusahakan oleh para sarjanawan muslim dan para sarjanawan yang berkecimpung dalam kajian-kajian ke-Islaman, meskipun usaha mereka tersebut belumlah maksimal.
Banyak dari para ilmuan pengkaji Islam yang telah memulai pengkajian-pengkajian Islam dengan beberapa pendekatan studi, terkhusus studi area yang akan kita bahas dalam makalah. Melirik pada perkembangan politik, sejarah dan budaya sangat dinamis, dan juga disebabkan kurangnya umat Islam mengkaji agamanya, menjadikan studi area ini dianggap sangat urgen dan signifikan untuk dikaji dan juga dikembangkan.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai Pendekatan Studi Area, serta signifikansi dan kontribusinya dalam Studi Islam pada komunitas muslim, yang kajiannya meliputi aspek geografis, realitas sosio-budaya, dan historis, di samping itu dalam makalah ini juga akan disinggung mengenai permasalahan orientalisme.
B. Makna, Asal Usul dan Perkembangan Studi Area
1. Defenisi Studi Area
Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia studi artinya pelajaran, pendidikan, penyelidikan, tempat belajar[1]
Sedangkan Area mengandung arti daerah permukaan bumi, luas, daerah kawasan setempat dan bidang.[2]
Jadi, studi area merupakan tempat belajar  untuk mengkaji ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk penelitian di muka bumi ini atau di belahan dunia manapun. Atau tepatnya penyelidikan di suatu wilayah / daerah tertentu selama masih dalam kawasan permukaan bumi.
Secara terminologi studi area adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.[3]
Studi area merupakan salah satu cara dari pendekatan historis yang pemahamannya bertolak dari aspek-aspek eksternal-lahiriah (eksoteris) yang cenderung bersifat reduksionis. Berbeda dengan pendekatan normatif untuk memahami fenomena keberagamaan, yang pemahamannya bercorak literalis, tekstualis, dan skriptualis, yang juga menyelami dan menyentuh aspek batiniah dan makna terdalam serta moralitas yang dikandung oleh ajaran-ajaran agama itu sendiri. Dengan demikian, Studi Islam melalui pendekatan Studi Area adalah pengumpulan data dan fenomena keberagamaan umat Islam dan budaya Islam pada area tertentu, kemudian dilakukan penelitian terhadap data-data yang ada dengan pendekatan historis-reduktif. Melalui pendekatan Studi Area dalam Studi Islam dan komunitas muslim, maka diharapkan antara umat Islam yang satu dengan yang lainnya itu dapat saling lebih mengenal dan memahami satu sama lain, sehingga suatu keniscayaan bagi terjalinnya kerjasama yang lebih erat dan saling menguntungkan bagi dunia muslim itu sendiri.


2. Perkembangan Studi Area
Setelah nabi Muhammad saw. wafat, dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah sedemikian luas. Hal itu merupakan permulaan dari pencapaian peradaban Islam. Rencana penaklukkan yang direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan wasiat yang harus dijalankan oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila ekspansi ini terus dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra. wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia, Syiria, Pantai Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudian dilanjutkan oleh Utsman ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia
Pada perkembangan berikutnya, tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat semakin intens. Sebuah peristiwa penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim berhasil menaklukkan semenanjung Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan penaklukkan tersebut berlanjut hingga Pyneress menuju daerah Prancis Selatan.[4]
Pasukan yang menaklukkan Andalusia didominasi oleh kaum muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat.
Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali Cordova dan disusul dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih dua abad lamanya sebelum akhirnya juga jatuh.
Sejak saat itu, serangan kaum Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin semakin gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas kekuasaan mereka.
Serangkaian penaklukkan yang terjadi tidak hanya bertujuan, baik sengaja ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan aspek-aspek material saja, akan tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini dibarengi dengan imperialisme kultural.
Melaluai ekspansi politik dan kultural terhadao wilayah-wilayah Islam, maka kajian wilayah menjadi sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam.
C. Orientalisme: Sejarah, Perkembangan dan Statusya Saat Ini
1. Defenisi Orientalis
Orientalisme berasal dari kata “orient”(bahasa Prancis) yang secara harfiah berarti Timur dan secara geografis berarti dunia belahan Timur serta secara etimologi berarti bangsa-bangsa di Timur.
Kata “orient” telah banyak diadaptasi ke berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Sedangkan kata “oriental” adalah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat ke-Timuran. Orientalist adalah pelaku yang menunjukkan kepada seorang ahli dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan ke-Timuran.
Kata “isme” menunjukkan kepada suatu faham, ajaran, cita-cita dan sikap. Jadi orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan untuk menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan yang berkaitan dengannya.
2. Perkembangan Orientalis
Penyelidikan yang dilakukan oleh para orientalis telah berlangsung selama beberapa abad khususnya tentang Islam dan bangsa-bangsa Timur dalam beberapa bidang kajian.
Pertumbuhan orientalis tidak lepas dari peran para pendeta yang pada awalnya mencoba untuk membuka jalan ke arah yang lebih luas. Mereka belajar ke negeri-negeri Islam di belahan Timur, memperdalam ilmu pengetahuan untuk dibawa ke negeri mereka.
Pada masa itu, mereka yang belajar ke negeri-negeri Islam disebut sebagai murid-murid yang datang dari negeri Barat ke negara-negara Islam yang lebih maju dalam berbagai bidang. Namun pada umumnya mereka tidak merasa senang untuk disebut sebagai murid-murid yang belajar ke negeri timur, mereka lebih senang untuk disebut sebagai ahli, yakni ahli ke-Timuran (orientalis).[5]
Orang-orang Barat yang mempelajari dunia Timur dimotivasi oleh agama. Bagaimanapun juga, perang Salib telah meninggalkan pengaruh terhadap sikap kaum Kristen atas ummat Islam.[6] Di sisi lain ummat Kristen juga ingin menyebarkan agama mereka di tengah-tengah kalangan ummat Islam.
Selain motivasi agama, munculnya orientalisme juga dimotivasi oleh perdagangan dan politik.[7] Negeri-negeri industri memerlukan untuk pemasaran hasil industri.
Mustafa as-Siba’i juga menyatakan bahwa ada empat motivasi khusus orientalis:[8]
  1. Dorongan ke-agamaan, misalnya para pendeta Katolik Roma.
  2. Dorongan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje di Indonesia.
  3. Dorongan politik.
  4. Dorongan ilmiah artinya para orientalis ini ingin mempelajari tentang hal-hal yang bersifat ke-Timuran untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di Timur.
Kaum orientalis mempelajari apa yang mereka inginkan dengan pikiran bebas dan terbuka. Beberapa faktor menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan jauh dari fakta yang ada. Beberapa faktor tersebut antara lain bisa kita sebutkan sebagai berikut:
  1. Wilayah Timur itu terlalu luas untuk dikuasai seseorang hingga ia layak mengklaim dirinya sebagai orientalis. Secara jujur seorang ilmuan harus bisa membatasi wilayah studinya hingga objek yang ia kajipun akan benar-benar ia kuasai. Dengan faktor ini, orientalis inipun sekarang lebih banyak disebut dengan Islamicist, atau bahkan yang lebih spesifik, yakni ahli ke-Indonesiaan.
  2. Sumber yang tidak sepenuhnya benar yang dikaji oleh para orientalis.
  3. Sumber terjemahan yang tidak memadai.
  4. Banyak dari term-term yang dipakai bahkan tidak benar. Dahulunya orang Arab diartikan oleh Orientalis sebagai orang yang menggunakan bahasa Arab dalam ritual Ibdahnya.
  5. Selain itu, yang pantas kita sebutkan disini adalah kecenderungan-kecenderungan awal yang mempengaruhi para peneliti.
Adapun hal-hal yang melatari perkembangan orientalis adalah:[9]
  1. Perang Salib.
  2. Persentuhan pemikiran wilayah Barat dan Timur, dan Islam dengan Kristen khususnya. Sejarah mencatat bahwa ada empat perguruan tertua di dunia Islam, yaitu: Nizhamiyah, al-Azhar, Qordova dan Qairawan. Perguruan ini telah lama mengundang ketertarikan pelajar dari wilayah Barat.
  3. Penulisan manuskrip Arab ke dalam bahasa Latin.
Penulisan ini telah berlangsung sejak abad ke-13 M hingga munculnya Renesains di Eropa pada abad ke-14 M. hal tersebut berawal dari restu King Fredrick II di Sisilia meski mendapat penolakan keras dari gereja Vatikan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga didirikannya beberapa perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano dan sebagainya.

3. Status Orientalis saat ini
Di zaman sekarang ini, kaum orientalis, baik sengaja ataupun tidak telah mendiskriminasikan Islam. Akan tetapi, sebuah kajian yang dilaksanakan dengan serius dan metode yang bisa dipertanggung jawabkan layak untuk dihormati, baik karya seorang muslim ataupun tidak. Sebagai seorang pengkaji yang jujur, hendaklah mereka tidak lantas mengklaim bahwa kajian mereka adalah yang paling benar.
Pada faktanya, kajian-kajian orientalis telah banyak menghasilkan kesimpulan yang dinilai menyudutkan agama Islam. Usaha mereka dalam pengkajian ke-Islaman telah banyak menghasilkan berupa buku, memberikan kuliah dan pelajaran di tengah kalangan ummat Islam.
Di berbagai negara Eropa, orientalis ini terus berkembang. Beberapa negara tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Prancis.
Di Institut Studi Islam di Paris telah dilakukan pengkajian-pengkajian tentang bahasa Arab, kebudayaan, sejarah dan beberapa bidang lainnya.[10]
2.      Italia.
Negara dan bangsa Italis telah mempunyai kontak dengan kaum muslimin sejak dahulu. Kemudian dengan usaha Vatikan, kebudayaan Arab dan beberapa kebudayaan lainnya terus berkembang di Italia. Di Italia di kenal sebuah perpustakaan besar yaitu perpustakaan Vatikan yang berisi buku-buku dari kerajaan Utsmani di Turki.[11]

E. Dunia Islam sebagai Objek Studi Area: Studi Timur Tengah, Timur Dekat, dan Asia Tenggara
Istilah kawasan Timur Dekat secara konseptual biasa digunakan oleh para sejarawan hingga akhir Perang Dunia I. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah Timur Dekat merujuk pada wilayah-wilayah yang pernah dikuasai dinasti Turki Utsmani dan negara-negara yang muncul kemudian dari reruntuhan dinasti ini setelah masa keruntuhannya. Jadi, kawasan Timur Dekat meliputi wilayah Iran dan kawasan di sebelah baratnya, termasuk Turki, Jazirah Arabia di Benua Asia, hingga Mesir dan Sudan di Benua Afrika.
 Sedangkan istilah kawasan Timur Tengah diperuntukkan bagi area yang meliputi wilayah negara-negara yang dahulunya masuk dalam wilayah kedaulatan dinasti Turki Utsmani. Selama Perang Dunia II, istilah Timur Tengah merujuk pada kawasan bagian barat dari dunia Timur, sampai ke Afrika Utara. dan menuju wilayah Pakistan. Pada saat ini, Timur Tengah menunjukkan kawasan yang khusus meliputi Israel dan Negara-negara Arab tetangganya. Istilah Timur Dekat tetap bertahan untuk mengungkapkan bentangan wilayah Asia Barat pada periode sebelum kedatangan Islam; orang biasa menyebutnya Timur Dekat kuno, tetapi bukan selalu dapat diartikan sebagai Timur Tengah kuno. “Timur Dekat” sekarang tidak termasuk kawasan negara-negara Eropa di sebelah Tenggara; seperti Italia atau Rusia, kecuali Turki, di mana Turki secara geografis terpisah dan terabaikan, karena Turki secara etnis, mayoritas komunitasnya termasuk Eropa, namun berdasarkan agama dan kulturnya, Turki termasuk bangsa yang berbudaya Islam.
Kawasan Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya muslim meliputi wilayah negara-negara Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan. Islam tersebar di kawasan ini melalui perdagangan dan dakwah, berbeda dengan penyebaran Islam di kawasan Timur Dekat (Timur Tengah) dan Asia Selatan, di mana di kawasan tersebut penyebaran Islam melalui penaklukan-penaklukan.
Dua faktor utama, yaitu iman dan lingkungan geografis yang berperan penting pada bentuk perkembangan Dunia Muslim. Islam memberikan dasar-dasar bimbingan yang sempurna bagi kehidupan umatnya. Pemeliharaan dan penyebaran dasar-dasar tuntunan agama tersebut telah mendorong munculnya pergerakan Islam, dan menghasilkan meluasnya wilayah Dunia Muslim. Dalam proses meluasnya area muslim yang merambah dunia baru yang sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan Islam, maka pergerakan Islam menemukan tantangan yang muncul karena perbedaan latar belakang geografis dan budaya asli masyarakat lokal. Maka komunitas masyarakat muslim yang baru memeluk Islam, berupaya untuk mengadaptasikan tuntunan agamanya dengan keadaan sosial-budaya dan geografisnya, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri.
Studi area terhadap kawasan Timur Tengah, sangat penting dipahami dan dikaji mengingat di kawasan inilah Islam pertama kali muncul, yaitu di Kota Makkah dan Madinah yang sering juga disebut Haramayn (“dua haram”). Dengan datang dan perginya jamaah haji setiap tahun, Makkah dan Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum muslim dari berbagai penjuru dunia. Kemudian perkembangan pengaruh Islam yang pesat dan memiliki pengaruh yang sangat luas pada masa itu, juga terjadi di negeri-negeri lainnya di kawasan Timur Tengah; seperti Syiria, Iraq, Bahrain, Yaman, Hadramawt, maupun Palestina. Demikian juga halnya dengan kawasan Timur Dekat, sebagai kawasan yang langsung berhubungan dengan penyebaran Islam dan perkembangan peradabannya pada masa awal Islam. Proses sejarah perluasan Dunia Muslim di kedua kawasan tersebut berjalan melalui politik dan kekuatan militer.

F.       Problem dan Prospek Pendekatan Studi Area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim
Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut Parsudi Suparlan makna dari istilah “pendekatan” adalah sama dengan “metodologi” yaitu “sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.” Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat di dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, agama harus menjadi kebudayaan bagi masyarakat. Karena setiap masyarakat mememiliki kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial dan kebutuhan adab yang integratif. Jadi pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Problematika yang dihadapi pada penelitian dengan menggunakan pendekatan studi area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim., berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan diselidiki. Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah yang dijangkaunya, maka segala persiapan yang diperlukan untuk menerapkan studi area, juga semakin besar.
Prospek pendekatan studi area, sebenarnya boleh dikatakan sangat baik. Hal ini mengingat perlunya dibangun saling pengertian dan kerjasama antar komunitas muslim dunia yang meliputi luas wilayah mencapai 31,8 juta km2 atau sebanding dengan 25 % dai seluruh wilayah dunia, memanjang mulai dari Indonesia di sebelah timur hingga Senegal di sebelah barat, serta dari utara Turkistan hingga ke selatan Mozambik, dengan jumlah populasi umat Islamnya 1.334.000.000 jiwa, mayoritas hidup di dunia Islam (± 1 miliar) dan selebihnya hidup sebagai minoritas muslim (± 334.000.000). Minoritas muslim tersebut yang terbanyak berada di India dan Cina.
Pada penelitian kasus Islam dan budaya lokal, persoalan akulturasi timbal balik antara lingkungan budaya dan ekspresi keagamaan seseorang, maka ada perbedaan yang menarik antara corak penyebaran Islam di Indonesia dan di Maroko. Kalau di Indonesia penyebaran Islam dilakukan oleh para penyebar Islam cenderung damai dan akomodatif, sedangkan di Maroko lebih bersifat oposisional, tegas, dan agresif. Seperti kata Geertz, “in Marocco civilization was built on nerve; in Indonesia, on diligence” (Di Maroko, peradaban Islam dibangun di atas saraf, di Indonesia, di atas ketekunan). Hal ini dapat kita lihat pada tokoh penyebar Islam di Indonsia dan di Maroko. Sunan Giri atau Sunan Kalijaga di Indonesia, cenderung damai, rukun, tekun, dan sinkretis, sementara Sidi Lahsen Lyusi atau Ali Hasan ibn Mas’ud al-Yusi di Maroko menyebarkan Islam dengan pemahaman yang murni dan cenderung tidak kompromistis. Namun mereka semua diakui oleh masyarakatnya masing-masing sebagai wakil yang sah bagi corak keislaman di masing-masing wilayah tersebut. Di Indonesia pengakuan tersebut tercermin pada pemberian gelar kehormatan Wali Songo, sedangkan di Maroko dengan gelar Sidi. Kedua gelar kehormatan tersebut mengandung penghargaan sebagai Wali Allah yang sangat kental dan dipercayai memiliki karomah (orang jawa abangan menyebutnya: keramat).
Dari kasus yang telah dikemukakan di atas, ternyata perbedaan area dan lingkunan sosio-kultural saling terkait erat dalam wujud dan semangat keberagamaan yang berbeda antara di Indonesia dan di Maroko. Maroko yang merupakan negeri padang pasir yang tandus dan keras dengan pola kehidupan sosial kesukuan yang kuat (tribalisme). Berbeda di Indonesia dengan Pulau Jawa-nya yang merupakan daerah pertanian yang subur, damai, dan rukun. Fakta adanya kaitan antara keadaan geografis, klimatologis, kesuburan tanah, kemelimpahan sumber daya alam suatu daerah dengan watak penduduknya, telah lama menjadi kajian para sarjana muslim, seperti Ibn Khaldun, dalam karyanya yang termasyhur, Muqaddimah, di situ Ibn Khaldun membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing terhadap watak penduduknya. Ia bahkan mengemukakan teorinya tentang pengaruh keadaan suhu suatu daerah terhadap akhlaq serta perilaku orang-orang setempat. Syahristani, dalam kitabnya yang juga amat terkenal, al-Milal wa an-Nihal, mengupas tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak geografisnya, menjadi Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Bangsa-bangsa Barat berbeda dengan bangsa-bangsa Timur, dan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi utara berbeda dengan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi selatan. Ia juga menyebutkan empat bangsa induk di dunia, yaitu Arab, Persia, India, dan Roma (Barat), menurutnya Bangsa Arab dan India, keduanya memiliki kemiripan, yaitu keduanya cenderung pada pengamatan ciri-ciri khusus dari suatu kenyataan dan membuat penilaian berdasarkan pandangan mengenai substansi dan hakikat kenyataan itu melalui pertimbangan keruhanian. Sedangkan Bangsa Persia dan Roma mempunyai kesamaan dalam kecenderungan melihat suatu kenyataan dari tabiat luarnya, kemudian memberikan penilaian menurut ketentuan-ketentuan kualitatif dan kuantitatif dengan pertimbangan berdasarkan keadaan secara fisik.
F. Signifikansi dan Konstribusi
Penerapan pendekatan studi area dalam Studi Islam dapat menghindari terjadinya kekeliruan dalam memandang keadaan Islam dan umatnya yang berada di belahan bumi yang berbeda dari tempat di mana seorang pengamat itu berada. Penyelidikan melalui pendekatan ini akan memperhatikan unsur tempat, objek, waktu, latar belakang, dan pelaku peristiwa tersebut. Lewat pendekatan studi area, kita diajak menukik dari alam idealis menuju alam realistis-fenomenologis, hingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan dan penilaian yang lebih objektif terhadap fakta-fakta yang ditemukan terhadap suatu objek di suatu area.
Jadi seperti apa yang telah dijelaskan dari signifikansi pendekatan studi area di atas, maka kontribusi studi area dalam Studi Islam dapat disebutkan antara lain[12]:
1. Memberikan penjelasan tentang keadaan keislaman di suatu daerah menurut data dan fakta yang ada, sehingga peneliti dapat melihat hal tersebut dengan penilaian yang mendekati titik objektivitas. Contohnya, bagaimana muslim Indonesia memandang muslim India bercorak sinkretis hinduistik yang kental, sehingga lebih menonjol kehinduannya dari keislamannya, padahal kenyataannya tidak demikian, di sana mudah dijumpai komunitas muslim bahkan dengan pengamalan agama yang sangat Islami sesuai Syari’at Islam. Kemudian bagaimana cara muslim Indonesia menilai dengan nada keprihatinan terhadap modernisasi dan sekularisme di Turki, yang mana sebenarnya hingga sekarang Turki merupakan negeri muslim yang sangat kuat pengaruh Islamnya sehingga sulit menemukan gereja di sana. Juga bagaimana misalnya, cara orang Turki dan Timur Tengah memahami keadaan di Indonesia, mereka beranggapan bahwa sulit membedakan seorang muslim dengan non-muslim di Indonesia, baik laki-laki maupun wanitanya. Menurut mereka, umat Islam Indonesia sangat rentan pemurtadan, karena tidak adanya semangat dan gerakan-gerakan atau lembaga keislaman. Padahal di Indonesia, pengamalan Islam cukup semarak, dan gerakan keislaman juga masih mudah dijumpai keberadaannya.
2. Mengenal dengan baik suatu budaya tertentu, sehingga kita mampu membedakan mana nilai yang bersifat universal dan mana yang lokal dalam ajaran Islam.
3. Memunculkan kesadaran umat Islam mengenai pentingnya assimilasi dan akulturasi timbal balik, sehingga umat Islam memiliki khazanah kebudayaan yang tinggi dan kaya.
4. Memungkinkan terbinanya kerjasama di bidang sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan, bahkan pertahanan dan keamanan, untuk memajukan bidang-bidang tersebut melalui penelitian-penelitian dengan pendekatan multidisipliner maupun interdisipliner dan membentuk komunitas muslim dunia yang kuat dan mapan, sehingga disegani baik oleh kawan maupun lawan. Negeri-negeri atau komunitas-komunitas muslim memiliki kemandirian untuk mengembangkan berbagai potensi di negeri atau daerah mereka bagi perjuangan mensejahterakan rakyatnya yang mayoritas ataupun yang minoritas muslimnya, sehingga tidak selalu bergantung pada Barat dan Amerika yang tidak sepaham; dalam hal aqidah yaitu Aqidah Islamiah, dengan Dunia Muslim.
G. Penutup
Islam berkembang melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latar belakang sejarah dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman.
Pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah.
Maka studi ke-Islaman di wilayah-wilayah secara objektiv akan berhasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya. Oleh karena itu, sangat didambakan untuk munculnya pusat-pusat studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Aqiqi, Najib al-, Al-Musytasyriqun. Mesir: Daar an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1958.
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Bahiy, Muhammad, Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Fananie, Peny Zainuddin, Studi Islam Asia Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Siba’i, Mustafa, al-Istisyraq wal Mustasyriqun. Beiru: Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, entri dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Ya’qub, Ismail, Orientaslime dan Orientalisten. Surabaya: CV. Faizan, 1970.


[1]WJS, Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), hl.649.
[2] Ibid.,hal. 230.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 142.
[4] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1977) h. 10.
[5] Ismail Ya’qub, Orientaslime dan Orientalisten (Surabaya: CV. Faizan, 1970) h. 109.
[6] Najib al-Aqiqi, Al-Musytasyriqun (Mesir: Daar an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1958) h. 235.
[7] Muhammad al-Bahiy, Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25.
[8] Mustafa s-Siba’i, al-Istisyraq wal Mustasyriqun (Beiru: Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25
[9] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, entri dalam Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993) h. 37.
[10]  Isma’il, Orientalisme. H. 135.
[11] Ibid
[12] Taufik Abdullah (Ed,), Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar