BAB
I
PENDAHULUAN
Ibnu Sina adalah salah satu filosof yang abadi dalam sejarah pemikiran Islam di dunia timur, dan menduduki
tempat khusus dalam sejarah pemikiran
Islam. Pada dasarnya filosof di dunia timur bukan hanya Ibnu Sina saja, masih banyak filosof selain Ibnu Sina begitu
juga pemikiran Islam di dunia barat.
Penulis hanya mangambil yang menurut penulis menggap penting agar mudah
untuk memahami serta mengkaji sub pemhasan dan
tidak terlalu meluas. Adapun beberapa aspek yang berakaitan tentang Ibnu Sina yaitu sejarah lahir beliau dan
karyannya, filsafat dan ajarannya.
Seperti halnya filosof-filosof Islam
yang lain, Ibnu sina merasa perlu untuk mengusahakan pemaduan (taufiq) antara
apa yang dikenal dalam filsafat Yunani dengan apa yang telah dikenal dalam
Islam, akidah, Syari’at yang telah digariskan dalam al-Quran. Dari sisi ini,
produk pemikiran Islam merupakan hasil paduan akidah Islam dengan teori filsafat
Yunani, dan ini sebenarnya merupakan sesuatu yang musykil, melainkan asli dari filsafat Islam itu sendiri[1]
Setelah disinggung diatas, maka
penulis pada kesempatan ini berusaha untuk membahas makalah ini yang berjudul ”Al-Tawfiq
(Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat dalam Presfektif Ibnu Sina.
BAB
II
PEMBAHASAN
Ibnu
Sina dan Karyannya
Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan
ibnu ‘Ali ibn Sina. Ibnu Sina
dilahirkan di Afsyna dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal pada tahun
1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan[2].
Ibnu Sina dilahirkan dalam
masa kekacauan, ketika Khilafat Abbasiyah mengalami kemunduran dan
negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai
melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri.
Kota Baghdad, sebagai pusat
pemerintahan khilafah Abbasiyyah, dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun
334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[3]
Ibnu Sina dibesarkan di daerah
kelahirannya. Ia belajar al-Quran dengan menghapalnya dan belajar ilmu-ilmu
agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti : astronomi, matematika, fisika,
logika, kedokteran, dan ilmu metafisika.
Ketika umur Beliau belum
mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang
kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan
segi praktik pun ia menguasai.[4]
Beliau tidak pernah bosan atau
gelisah dalam membaca buku-buku filsafat, dan setiap kali menghadapi kesulitan,
ia memohon kepada Tuhan untuk diberi petunjuk, dan ternyata permohonannya itu
tidak pernah dikecewakan. Sering beliau menemukan pemecahan terhadap
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[5]
. Karya Ibnu Sina
Hidup Ibnu Sina penuh dengan
kesibukan bekerja dan mengarang, serta penuh dengan kesenangan dan kepahitan
hidup bersama-sama. Boleh jadi, keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa
penyakit yang tidak bisa diobati pada tahun 428 H (1037 M) dan meniggal dunia
di Hamadzan, pada usia 58 tahun.[6]
Ibnu Sina tidak pernah
mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Beliau banyak disibukan
dengan urusan politik, sehingga tidak banyak mempunyai kesempatan untuk
mengarang. Walaupun demikian, beliau telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh
karangan. Adapun karangan yang telah dibuat Ibnu Sina adalah [7]:
- Asy-Syifa.
Buku ini adalah buku filsafat
yang terpenting dan terbesar Ibnu Sina, dan terdiri dari empat bagian. yaitu
logik, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai
beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan di Barat dan Timur.
- An-Najat
Buku ini merupakan keringkasan
buku Asy-Syifa, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di
Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
- Al-Isyart wa Tanbihat
Buku ini adalah buku terakhir
dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan
sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Kemudian, diterbitkan lagi
di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia
- Al-Hikmat Al-Masyriqiiyyah
Buku ini banyak dibicarakan
orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih
memuat bagian logika. Menurut Carlos Nallino, buku ini berisi filsafat
Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.a
- Al-Qanun atau Canon of Medicine,
Buku ini pernah di terjemahkan dalam bahasa latin dan pernah menjadi buku
standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ke tujuh belas
Masehi. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M, dan India tahun
1323 H. Risalah-risalaj lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,
etika, logika dan fsikologi.
BAB III
Rekonsiliasi Agama dan Filsafat
Corak pemikiran kaum Muslimin
pada berbagai bidang pemikiran bersifat
umum, oleh sebab itu filsuf-filsuf Islam berusaha untuk mempertemukan agama
dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil fikiran
semata-mata, yaitu Filsafat Yunani.[8]
Selain karena corak pemikiran
tersebut, juga ada beberapa faktor yang mendorong ke arah pemanduan tersebut,
yaitu[9]
:
ü Adanya jurang pemisah
yang dalam antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan,
seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baru atau qadimnya alam,
hubungan alam dengan Tuhan, keadaan Jiwa, dan balasan badaniah atau rohaniah di
akhirat.
ü Adanya serangan yang
banyak dilancarkan oleh kalangan yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan
akidah agama yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini sering-sering diikuti
dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa
terhadap ahli-ahli fikir bebas
ü Hasrat para filsuf
sendiri untuk dapat menyelamatkan diri
dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan
terlalu nampak perlawanannya dengan agama.
Dalam Literatur lain juga
menyebutkan adanya kewajaran jika terdapat kecenderungan pemaduan agama dengan
filsafat baik dipengaruhi dari Islam itu sendiri maupun dari Yunani dan hampir
seluruh filosof Islam, di Timur (seperti Ibnu Sina salah satunya) dan di Barat.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pada para pendahulu ,baik
dari kalangan pemikir Masehi maupun Yahudi.
Faktor-faktor tersebut antara lain[10]
:
ü Lebarnya jurang
perbedaan anatara Islam yang berdasarkan wahyu, tanpa mengecilkan peranan akal,
dengan filsafat Aristoteles yang berdasarkan akal semata-mata.
ü Kecaman yang
dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama terhadap pembahasan akali (rasional)
yang tidak terkait kesimpulannya pada ketentuan akidah yang telah diakui
sebelumnya, sehingga mengakibatkan timbul penekanan dari para penguasa dan
rakyat umum terhadap filosofi.
ü Kegemaran para
filosofi itu sendiri untuk hidup tenang agar dapat berfikir, bebas dari
berbagai petaka dan kekacauan.
Tentu saja antara agama dan
filsafat, menurut sebagian filosofi yang disimpulkan penulis memiliki perbedaan
yang sangat signifikan, jika filsafat dipengaruhi oleh akal dengan memiliki
batasan atau kebebasan dalam penalaran
menangkap makna-makna kehidupan ini, lain halnya dengan agama, agama bersumber
dari ilahi wahyu yang diberikan kepada utusan-utusan-Nya yang tidak bisa
diganggu gugat lagi ke Absolutannya. Akal disini hanya mampu menjangkau wahyu
yang tertulis dalam kitabnya dan memiliki batasan.
Sehingga diperlukan
Rekonsiliasi antara agama dengan filsafat, ketika agama berbicara tentang
kebenaran dan kejahatan maka akal yang berfikir (berfilsafat) dengan cepat akal tersebut menerimanya atau meresponnya berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam ajaran Islam, Allah
adalah Pencipta segala sesuatu, tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya,
serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemelihataanNya. Allah mengetahui
segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Allah yang
menciptakan alam ini dari yang tidak ada menjadi ada tanpa perantara sari
siapapun. Allah memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung,
seperti yang tersebut dalam al-Quran[11]
* ¼çnyYÏãur
ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$#
w !$ygßJn=÷èt
wÎ) uqèd
4 ÞOn=÷ètur $tB
Îû Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur 4
$tBur äÝà)ó¡n@
`ÏB >ps%uur
wÎ) $ygßJn=÷èt
wur 7p¬6ym
Îû ÏM»yJè=àß
ÇÚöF{$# wur
5=ôÛu wur
C§Î/$t wÎ)
Îû 5=»tGÏ.
&ûüÎ7B ÇÎÒÈ [12]
Artinya :
“Dan di sisi-Nya segala kunci alam
ghaib yang tidak ada yang tahu selain Dia, dan Dia tahu apa yang di laut dan
di darat, dan tidak ada daun yang gugur
yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada biji di dalam kegelapan bumi, tidak ada
yang kering dan yang basah kecuali semua itu ada dalam kitab nyata(dalam ilmu-Nya).
BAB
IV
Hubungan
Agama
tentang
Ketuhanan dengan Filsafat
Ketuhanan menurut Ibnu
Sina
Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan wajib al-wujud dan mumkin
al-Wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama
sekali. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada di bagi
pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut[13]
ü
Wajib al-wujud
esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud keduanya adalah sama dan
satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia
wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib
al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi.
Kategori yang pertama ialah wujudnya dengan sabab zatnya semata, mustahil jika
diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan
sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk
pada yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar)
ü
Mumkin al-Wujud
esensi yang boleh mempunayi wujud dan boleh pula tidak berwujud, dengan
istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia
tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-Wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan
tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujud bi lidzatihi.
Ia pun dapat pula dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujud
bi lidzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang
ada, selain Allah.
ü
Mumtani’ al-Wujud
esensi yang tidak dapat mempnyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga
kosmos lin di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari dalil dengan
salah satu mahluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni
Wajib al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab yang mengeluarkannya menjadi wujud
kerena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.[14]
Dengan demikian dalam menetapkan
Yang Pertama (Allah) tidak memerlukan pada perenungan terhadap wujud itu sendiri
tanpa memerlukan wujud-Nya dengan salah satu mahluk-Nya, namun pembuktian
dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam
pembuktian tersebut telah digambarkan al-Quran dalam al-Fuhshilat 53.
óOÎgÎã\y $uZÏF»t#uä
Îû É-$sùFy$#
þÎûur öNÍkŦàÿRr&
4Ó®Lym tû¨üt7oKt
öNßgs9 çm¯Rr&
,ptø:$# 3
öNs9urr& É#õ3t
y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr&
4n?tã Èe@ä.
&äóÓx« îÍky
ÇÎÌÈ
53 Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu ?
Ketuhanan
menurut Filosof Yunani (Platinus maupun Aristoteles)
ü Emanasi Menurut Platinus
Istilah pemancaran atau
emanasi sejalan dengan para pendahulunya. Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para
filsuf Yunani, terutama Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari yang satu
muncul keberagaman dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama
memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya hingga mencapai
akal sepuluh dan bumi. Dari akal sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang
berada di bawah bulan. Akal pertama adalah adalah malaikat tertinggi dan akal
sepuluh adalah jibril.
Jika Konsep akal Farabian
memiliki dua obyek pemikiran, yaitu berfikir mengenai Tuhan sebagai wujud
pertama dan berfikir tentang dirinya
sendiri, lain halnya dengan konsep Ibnu Sina yang memiliki tiga obyek
perenungan. Akal pertama yang mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-Wujud lighairihi
sebagai pancaran dari Tuhan, dan mumkin al-wujud lizatihi apabila ditinjau dari
hakikat dirinya. Akal pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Tuhan,
dirinya sendiri sebagaimana wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mumkin
wujudnya, ketika akal memikirkan Tuhan
akan timbul akal-akal yang lainnya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas
berfikir tentang dirinya sebagai mumkin wujudnya sebagai langit-langit. Jadi,
akal pertama melimpahkan tiga wujud : akal kedua, jiwa pertama, dan langit
tempat fixed stars.[15]
Kemudian, filsafat Plotinus
yang berprinsip bahwa Dari yang satu hanya satu yang melimpah”. hal ini
diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara
emanasi.
Hal ini memungkinkan karena
dalam Al-Quran tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam
materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun
prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namn hasil dan tujuannya berbeda. Oleh
karena itu dapat dikatakan, Yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang
pasif bergeser menjadi Allah Pencipta (Shani, agent) yang aktif. Dia
menciptakan alam materi yang sudah ada secara pancaran.[16]
ü
Wujud Allah menurut Aristoteles
Aristoteles berpendapat,
pengakuan adanya ”Penggerak Pertama” sudah cukup untuk menjadi dasar penafsiran
alam ini, gerak, kejadian dan hancurnya, sehingga ia menjadikan-Nya sebagi
titik terakhir di mana berakhir segala silsilah gerak. Dia sendiri yang tetap,
tidak bergerak, dan tanpa Dia, gerak alam ini tidak dapat ditafsirkan secara
akali.
”Penggerak Pertama” ini, atau
dengan kata lain, ”Yang Terakhir” dari silsilah gerak, menurut Aristoteles,
adalah Tuhan. Akan tetapi apa pengaruh-Nya terhadap alam ini, apakah ia
menggerakkaknya sebagai Pencipta?
Peranan yang diberikan
Aristoteles kepada ”Penggerak Pertama” sebagai Tuhan, tidak membuatnya bena,
terutama dari sudut pandanagan agama, baik Islam atau lainnya, karena Tuhan,
dalam wujud pengertian ini, bukan sebagai pencipta atau pembuat alam ini,
sementara al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah ”sebab pencipta”
(’illah fa ’illayyah) bagi alam. Ibnu Sina menempuh jalan lain yang dapat
memadukan konsepsi Aristoteles dengan ajaran al-Quran dalam masalah ini.
Jalan yang disenangi Ibnu Sina
bukan jalan mutakalimin yang berdalil dengan alam ini terhadap adanaya Allah,
berdalil dengan mahluk terhadap khlaik. Dalil ini, menurut Ibnu Sina, hanya
sesuai bagi kebanyakan orang awam, dan karena itu ia memilihdalil lain yang
didasrkan pada perbedaan wajib itu sendiri. Ia berdalil dengan ”kemungkinan
segala yang mungkin” [17].
Jika Rekonsiliasi agama dan
filsfat adanaya usaha filosof untuk memadukan anatara keduanya, lain halnya
dengan Ketuhanan menurut filosof Islam (Ibnu Sina) dengan filosof Yunani ( Plotinus
maupun Aristoteles) tentang Ketuhanan antara agama Islam khususnya dan Filsafat
Yunani sangat bertolak belakang.
BAB
V
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada sub pembahasan sebelumnya telah dipaparkan hal yang berkaitan dengan Ibnu Sina walau hanya
sebagian saja, dengan judul Rekonsiliasi agama dan filsafat dalam presfektif
Ibnu Sina, yang berimplikasi terhadap keterkaitan Ketuhanan menurut
agama Islam Khususnya dan Filsafat yunani.
Penulis memiliki gambaran, agama dan filsafat adalah objeknya sedangkan filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan
adalah subyeknya yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula
sesuai dengan keadaan pada masa itu. wajar saja jika agama dan filsafat mampu
di rekonsiliasi sementara Filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak
belakang. Hal ini disebabkan makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak
dapat dipungkiri ada pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani. Sedikit
kesimpulan dan analisis dari penulis semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Hakim, Atang Abdul. dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung : CV Pustaka Setia
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam.
Bandung : CV
Pustaka Setia
Poerwantoro, A. Ahmadi dan M.A Rosali.1994. Seluk Beluk Filsafat
Islam.
Bandung :PT Remaja Rosa Karya
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta
: PT Raja Grafindo
[1] Ahmad
Daudy, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bulan
Bintng,1984), hl.8
[2] Sirajuddin Zar,. Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hl. 91.
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia,
2008), hl. 498.
[4] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung :
CV Pustaka Setia, 1997), hl. 188-189.
[5] Atang
Abdul Hakim, dan. Beni Ahmad Saebani,
Filsafat Umum, hl.498.
[6] Atang
Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,
Filsafat Umum , hl. 499.
[7]
Ibid.,500.
[8] Poerwantara,
A. Ahmadi, M.A Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam,(Bandung : PT Remaja Rasa
Karya, 1994),hlm 103.
[9]Ibid..
[10] Ahmad
Daudy, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, hl.8-9
[11] Ibid..
[12]
al-Quran Surah (6) : 59
[13] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam, hl.96.
[14] Ibid...
[15] Amroeni
Drajat, Filsafat Islam (Jakarta
: Penerbit Erlangga,2006), hl. 46.
[16]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, hl.100.
[17] Ahmad
Daudy,Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, hl.11-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar