Senin, 26 Maret 2012

Ibnu Sina dan Karya-karyanya


BAB I
PENDAHULUAN
Ibnu Sina adalah  salah satu  filosof  yang abadi dalam sejarah  pemikiran Islam di dunia timur, dan menduduki tempat khusus dalam sejarah pemikiran  Islam. Pada dasarnya filosof di dunia timur bukan hanya Ibnu Sina saja,  masih banyak filosof selain Ibnu Sina begitu juga pemikiran Islam di dunia  barat.
Penulis hanya mangambil yang menurut penulis menggap penting agar mudah untuk memahami serta mengkaji sub pemhasan dan  tidak terlalu meluas. Adapun beberapa aspek yang berakaitan tentang  Ibnu Sina yaitu sejarah lahir beliau dan karyannya, filsafat dan ajarannya.
            Seperti halnya filosof-filosof Islam yang lain, Ibnu sina merasa perlu untuk mengusahakan pemaduan (taufiq) antara apa yang dikenal dalam filsafat Yunani dengan apa yang telah dikenal dalam Islam, akidah, Syari’at yang telah digariskan dalam al-Quran. Dari sisi ini, produk pemikiran Islam merupakan hasil paduan akidah Islam dengan teori filsafat Yunani, dan ini sebenarnya merupakan sesuatu yang musykil, melainkan asli dari  filsafat Islam itu sendiri[1]
            Setelah disinggung diatas, maka penulis pada kesempatan ini berusaha untuk membahas makalah ini yang berjudul ”Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat dalam Presfektif Ibnu Sina.
           
           








                                                                  BAB II                   
PEMBAHASAN
Ibnu Sina dan Karyannya

*      Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Ibnu Sina dilahirkan di Afsyna dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan[2].
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, ketika Khilafat Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri.
Kota Baghdad, sebagai pusat pemerintahan khilafah Abbasiyyah, dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[3]
Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar al-Quran dengan menghapalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti : astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu metafisika.
Ketika umur Beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan segi praktik pun ia menguasai.[4]
Beliau tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat, dan setiap kali menghadapi kesulitan, ia memohon kepada Tuhan untuk diberi petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering beliau menemukan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[5]
*      . Karya Ibnu Sina
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, serta penuh dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama. Boleh jadi, keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati pada tahun 428 H (1037 M) dan meniggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.[6]
Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Beliau banyak disibukan dengan urusan politik, sehingga tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang. Walaupun demikian, beliau telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan. Adapun karangan yang telah dibuat Ibnu Sina adalah [7]:
  1. Asy-Syifa.
Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar Ibnu Sina, dan terdiri dari empat bagian. yaitu logik, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan di Barat dan Timur.
  1. An-Najat
Buku ini merupakan keringkasan buku Asy-Syifa, dan pernah  diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
  1. Al-Isyart wa Tanbihat
Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Kemudian, diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia
  1. Al-Hikmat Al-Masyriqiiyyah
Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih memuat bagian logika. Menurut Carlos Nallino, buku ini berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.a
  1. Al-Qanun atau Canon of Medicine,
Buku ini pernah di terjemahkan dalam bahasa latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ke tujuh belas Masehi. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M, dan India tahun 1323 H. Risalah-risalaj lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat, etika, logika dan fsikologi.
























BAB III
Rekonsiliasi Agama dan Filsafat

Corak pemikiran kaum Muslimin pada berbagai bidang pemikiran  bersifat umum, oleh sebab itu filsuf-filsuf Islam berusaha untuk mempertemukan agama dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil fikiran semata-mata, yaitu Filsafat Yunani.[8]
Selain karena corak pemikiran tersebut, juga ada beberapa faktor yang mendorong ke arah pemanduan tersebut, yaitu[9] :
ü  Adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baru atau qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan, keadaan Jiwa, dan balasan badaniah atau rohaniah di akhirat.
ü  Adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah agama yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini sering-sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli fikir bebas
ü  Hasrat para filsuf sendiri untuk dapat menyelamatkan  diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan terlalu nampak perlawanannya dengan agama.
Dalam Literatur lain juga menyebutkan adanya kewajaran jika terdapat kecenderungan pemaduan agama dengan filsafat baik dipengaruhi dari Islam itu sendiri maupun dari Yunani dan hampir seluruh filosof Islam, di Timur (seperti Ibnu Sina salah satunya) dan di Barat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pada para pendahulu ,baik dari  kalangan pemikir Masehi maupun Yahudi. Faktor-faktor tersebut antara lain[10] :
ü  Lebarnya jurang perbedaan anatara Islam yang berdasarkan wahyu, tanpa mengecilkan peranan akal, dengan filsafat Aristoteles yang berdasarkan akal semata-mata.
ü  Kecaman yang dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama terhadap pembahasan akali (rasional) yang tidak terkait kesimpulannya pada ketentuan akidah yang telah diakui sebelumnya, sehingga mengakibatkan timbul penekanan dari para penguasa dan rakyat umum terhadap filosofi.
ü  Kegemaran para filosofi itu sendiri untuk hidup tenang agar dapat berfikir, bebas dari berbagai petaka dan kekacauan.
Tentu saja antara agama dan filsafat, menurut sebagian filosofi yang disimpulkan penulis memiliki perbedaan yang sangat signifikan, jika filsafat dipengaruhi oleh akal dengan memiliki batasan atau kebebasan dalam  penalaran menangkap makna-makna kehidupan ini, lain halnya dengan agama, agama bersumber dari ilahi wahyu yang diberikan kepada utusan-utusan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat lagi ke Absolutannya. Akal disini hanya mampu menjangkau wahyu yang tertulis dalam kitabnya dan memiliki batasan.
Sehingga diperlukan Rekonsiliasi antara agama dengan filsafat, ketika agama berbicara tentang kebenaran dan kejahatan maka akal yang berfikir (berfilsafat)  dengan cepat akal tersebut  menerimanya atau meresponnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam ajaran Islam, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemelihataanNya. Allah mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Allah yang menciptakan alam ini dari yang tidak ada menjadi ada tanpa perantara sari siapapun. Allah memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung, seperti yang tersebut dalam al-Quran[11]
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# Ÿwur 5=ôÛu Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B ÇÎÒÈ   [12]
Artinya :             
            “Dan di sisi-Nya segala kunci alam ghaib yang tidak ada yang tahu selain Dia, dan Dia tahu apa yang di laut dan di  darat, dan tidak ada daun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada biji di dalam kegelapan bumi, tidak ada yang kering dan yang basah kecuali semua itu ada dalam kitab nyata(dalam ilmu-Nya).



















BAB IV
Hubungan Agama
tentang Ketuhanan dengan Filsafat
*      Ketuhanan menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan wajib al-wujud dan mumkin al-Wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada di bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut[13]
ü  Wajib al-wujud
esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah wujudnya dengan sabab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar)
ü  Mumkin al-Wujud
esensi yang boleh mempunayi wujud dan boleh pula tidak berwujud, dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-Wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujud bi lidzatihi. Ia pun dapat pula dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujud bi lidzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.


ü  Mumtani’ al-Wujud
esensi yang tidak dapat mempnyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lin di samping kosmos yang ada.

Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari dalil dengan salah satu mahluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni Wajib al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab yang mengeluarkannya menjadi wujud kerena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.[14]
 Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak memerlukan pada perenungan terhadap wujud itu sendiri tanpa memerlukan wujud-Nya dengan salah satu mahluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Quran dalam al-Fuhshilat 53.
óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ  
53 Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu ?
*       Ketuhanan menurut Filosof Yunani (Platinus maupun Aristoteles)
ü  Emanasi Menurut Platinus
Istilah pemancaran atau emanasi sejalan dengan para pendahulunya. Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para filsuf Yunani, terutama Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari yang satu muncul keberagaman dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya hingga mencapai akal sepuluh dan bumi. Dari akal sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah adalah malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah jibril.
Jika Konsep akal Farabian memiliki dua obyek pemikiran, yaitu berfikir mengenai Tuhan sebagai wujud pertama dan  berfikir tentang dirinya sendiri, lain halnya dengan konsep Ibnu Sina yang memiliki tiga obyek perenungan. Akal pertama yang mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-Wujud lighairihi sebagai pancaran dari Tuhan, dan mumkin al-wujud lizatihi apabila ditinjau dari hakikat dirinya. Akal pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Tuhan, dirinya sendiri sebagaimana wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mumkin wujudnya, ketika akal memikirkan  Tuhan akan timbul akal-akal yang lainnya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berfikir tentang dirinya sebagai mumkin wujudnya sebagai langit-langit. Jadi, akal pertama melimpahkan tiga wujud : akal kedua, jiwa pertama, dan langit tempat fixed stars.[15]
Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa Dari yang satu hanya satu yang melimpah”. hal ini diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi.
Hal ini memungkinkan karena dalam Al-Quran tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namn hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, Yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta (Shani, agent) yang aktif. Dia menciptakan alam materi yang sudah ada secara pancaran.[16]
ü  Wujud Allah menurut Aristoteles

Aristoteles berpendapat, pengakuan adanya ”Penggerak Pertama” sudah cukup untuk menjadi dasar penafsiran alam ini, gerak, kejadian dan hancurnya, sehingga ia menjadikan-Nya sebagi titik terakhir di mana berakhir segala silsilah gerak. Dia sendiri yang tetap, tidak bergerak, dan tanpa Dia, gerak alam ini tidak dapat ditafsirkan secara akali.
”Penggerak Pertama” ini, atau dengan kata lain, ”Yang Terakhir” dari silsilah gerak, menurut Aristoteles, adalah Tuhan. Akan tetapi apa pengaruh-Nya terhadap alam ini, apakah ia menggerakkaknya sebagai Pencipta?
Peranan yang diberikan Aristoteles kepada ”Penggerak Pertama” sebagai Tuhan, tidak membuatnya bena, terutama dari sudut pandanagan agama, baik Islam atau lainnya, karena Tuhan, dalam wujud pengertian ini, bukan sebagai pencipta atau pembuat alam ini, sementara al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah ”sebab pencipta” (’illah fa ’illayyah) bagi alam. Ibnu Sina menempuh jalan lain yang dapat memadukan konsepsi Aristoteles dengan ajaran al-Quran dalam masalah ini.
Jalan yang disenangi Ibnu Sina bukan jalan mutakalimin yang berdalil dengan alam ini terhadap adanaya Allah, berdalil dengan mahluk terhadap khlaik. Dalil ini, menurut Ibnu Sina, hanya sesuai bagi kebanyakan orang awam, dan karena itu ia memilihdalil lain yang didasrkan pada perbedaan wajib itu sendiri. Ia berdalil dengan ”kemungkinan segala yang mungkin” [17].
Jika Rekonsiliasi agama dan filsfat adanaya usaha filosof untuk memadukan anatara keduanya, lain halnya dengan Ketuhanan menurut filosof Islam (Ibnu Sina) dengan filosof Yunani ( Plotinus maupun Aristoteles) tentang Ketuhanan antara agama Islam khususnya dan Filsafat Yunani sangat bertolak belakang.











BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada sub pembahasan sebelumnya telah dipaparkan hal  yang berkaitan dengan Ibnu Sina walau hanya sebagian saja, dengan judul Rekonsiliasi agama dan filsafat dalam presfektif Ibnu Sina, yang berimplikasi terhadap keterkaitan Ketuhanan menurut agama Islam Khususnya dan Filsafat yunani. 
Penulis memiliki gambaran,  agama dan filsafat adalah  objeknya sedangkan  filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan adalah subyeknya yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula sesuai dengan keadaan pada masa itu. wajar saja jika agama dan filsafat mampu di rekonsiliasi sementara Filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak belakang. Hal ini disebabkan makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak dapat dipungkiri ada pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani. Sedikit kesimpulan dan analisis dari penulis semoga bermanfaat.














DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang

Hakim, Atang Abdul. dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung : CV Pustaka Setia

Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia

Poerwantoro, A. Ahmadi dan M.A Rosali.1994. Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung :PT Remaja Rosa Karya

Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo


















[1] Ahmad Daudy, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintng,1984), hl.8
[2]  Sirajuddin Zar,. Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hl. 91.
[3]  Atang Abdul Hakim dan  Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hl. 498.
[4]  A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), hl. 188-189.
[5] Atang Abdul Hakim,  dan. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, hl.498.
[6] Atang Abdul Hakim dan  Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum , hl. 499.
[7] Ibid.,500.
[8] Poerwantara, A. Ahmadi, M.A Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam,(Bandung : PT Remaja Rasa Karya, 1994),hlm 103.
[9]Ibid..
[10] Ahmad Daudy, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, hl.8-9
[11] Ibid..
[12] al-Quran Surah  (6) : 59
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, hl.96.
[14] Ibid...
[15] Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Jakarta : Penerbit Erlangga,2006), hl. 46.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, hl.100.
[17] Ahmad Daudy,Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, hl.11-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar